DI-0010 - Fiqih Muamalah Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja - Syarat Pelaku Akad Jual Beli
🌐 WAG Dirosah Islamiyah
Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad
▪🗓 JUM’AT
| 05 Rabi’ul Akhir 1442 H
| 20 November 2020 M
🎙 Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
📗 Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja
🔈 Audio ke-10
📖 Syarat Pelaku Akad Jual Beli
~•~•~•~•~
بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره, ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا من يهده الله فلا مضل له, ومن يضلل فلا هادي له, وأشهد ألا إله إلا الله وحده لا شريك له, وأشهد أن محمدا عبده ورسوله اما بعد
Pada sesi ini saya akan mengajak Anda untuk melanjutkan beberapa kaidah yang itu merupakan dasar yang dengan itu kita mudah memahami penjabaran para ulama para ahli fiqih tentang hukum-hukum perniagaan.
Perlu dipahami bahwa akad jual beli itu suatu tindakan hukum yang memiliki efek, yang memiliki konsekuensi hukum, salah satunya adalah pemindahan kepemilikan ketika Anda menjual, maka berarti kepemilikan barang akan berpindah dari diri Anda menjadi milik pembeli.
Ketika Anda membeli suatu barang maka itu memiliki konsekuensi hukum yaitu Anda harus melakukan pembayaran. Demikian pula ketika Anda menyewakan atau ketika Anda menyewa maka itu adalah suatu tindakan hukum yang menghasilkan satu konsekuensi hukum pula.
Yaitu Anda harus menyerahkan barang yang Anda sewakan untuk dimanfaatkan dalam tempo waktu yang jelas yang telah disepakati oleh penyewa. Demikian pula sebaliknya ketika Anda menyewa maka Anda harus melakukan pembayaran uang sewa dan berbagai hukum yang terjadi pada akad sewa menyewa.
Karenanya agar akad ini memenuhi kriteria syarat akad yang seutuhnya, Anda harus memastikan bahwa lawan transaksi Anda betul-betul orang cakap hukum, orang yang secara syari'at dikatakan الرشد atau البالغ. Cakap hukum untuk melakukan akad atau untuk melakukan transaksi karena itu Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam surat An-Nisa menjelaskan,
وَلَا تُؤْتُوا۟ ٱلسُّفَهَآءَ أَمْوَٰلَكُمُ ٱلَّتِى جَعَلَ ٱللَّهُ لَكُمْ قِيَـٰمًۭا وَٱرْزُقُوهُمْ فِيهَا وَٱكْسُوهُمْ وَقُولُوا۟ لَهُمْ قَوْلًۭا مَّعْرُوفًۭا
"Janganlah engkau berikan harta yang telah diamanatkan untuk kalian jaga dan kalian rawat yaitu harta anak yatim. Jangan kau berikan kepada mereka." [QS. An-Nisa: 5]
Anak-anak yatim yang masih berstatus ٱلسُّفَهَآءَ (nalarnya belum sempurna). Perkembangan kedewasaan mentalnya belum sempurna, sehingga mereka belum cakap untuk membelanjakan harta dan juga belum mampu untuk menjaga hartanya. Namun tentu kecakapan hukum untuk melakukan tindakan pada harta, berdagang, berjual beli, sewa menyewa itu perlu proses pembelajaran dan pembiasaan.
Karena dalam pepatah dikatakan, alah bisa karena biasa. Karena itu Allah Subhanahu wa Ta'ala katakan ditegaskan dalam ayat selanjutnya,
وَابْتَلُوا الْيَتَامَىٰ حَتَّىٰ إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ
"Lakukanlah pengujian kepada anak-anak yatim ketika mereka menginjak umur baligh, uji mereka untuk melakukan transaksi atau pun menjaga atau merawat atau bahkan menginvestasikan, mengelola harta warisan yang mereka miliki.” [QS An Nisa: 6]
فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا
Dan kalau engkau sudah mendapatkan indikasi ataupun bukti-bukti kongkret bahwa anak yatim tersebut telah cakap hukum, telah cukup cakap, telah cukup terbukti bahwa dia memiliki kecakapan untuk membelanjakan, merawat, menginvestasikan, menjualbelikan harta yang dia miliki.
فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ
Maka segera serahkan kepada mereka kekayaan yang mereka miliki untuk mereka kelola sendiri, untuk mereka belanjakan sendiri, untuk mereka jual belikan sendiri ataupun untuk mereka investasikan sendiri.
Ini menjadi suatu ketetapan, ayat ini telah menetapkan dan telah disepakati oleh para ulama, bahwa orang yang tidak cakap hukum maka dia tidak boleh melakukan transaksi.
Karena itu pastikan ketika Anda hendak bertransaksi dengan orang lain, pastikan bahwa orang lawan transaksi Anda adalah orang yang cakap hukum, yaitu telah baligh dan layak secara tradisi untuk melakukan suatu transaksi. Ini kecakapan model pertama yaitu secara personal dia cakap hukum, tidak ada cacat hukum untuk melakukan transaksi.
Kemudian yang juga perlu disampaikan di sini, bisa jadi secara prinsip seseorang itu telah dikatakan cakap hukum memiliki kemampuan kapasitas untuk menjaga, membelanjakan, atau memperjualbelikan kekayaannya atau hartanya, tetapi kadang kala dalam beberapa kondisi ada satu alasan yang menyebabkan dia terhalang atau divonis tidak lagi cakap hukum, atau memiliki cacat hukum untuk melakukan transaksi pada harta kekayaan yang dia miliki, yaitu karena orangnya sedang dalam kasus dipailitkan.
(Dipailitkan) karena hutang yang harus dia bayar ternyata lebih besar dibandingkan aset yang dimiliki. Maka ketika para kreditur menuntut agar orang tersebut segera melunasi hutangnya yang telah jatuh tempo dan mereka tidak siap memberikan tangguh yang lebih panjang dibandingkan waktu yang telah disepakati, maka dalam kondisi macam ini dia secara hukum akan dikatakan mahjur, dipailitkan oleh pengadilan. Sehingga tidak lagi dia bisa mengeksekusi atau memperdagangkan atau memperjualbelikan harta kekayaan yang dia miliki.
Dia hanya boleh membelanjakan sebatas untuk makan dan minum saja. untuk mencukupi menafkahi anak dan istrinya saja, kebutuhan primer tapi bukan untuk memenuhi kebutuhan sekunder atau apalagi pesiar apalagi bersenang-senang, tidak.
Dia tidak berhak untuk mengalihkan kepemilikan sebagian harta atau seluruh harta dia, walaupun pemindahan itu tidak melalui jalur jual beli, misalnya dengan jalur hibah. Tindakan hukum apa saja yang berdampak pada perpindahan kepemilikan atau berdampak pada adanya kewajiban baru di dalam sebagian harta yang dia miliki, maka itu dianggap batal demi hukum atau ini yang disebut dengan,
المحجور لحق الغير
Orang yang dipailitkan karena adanya tuntutan dari pihak kreditur.
Ketika ini terjadi, maka pengadilan akan menyerahkan asetnya kepada pihak kurator pihak yang ditunjuk oleh pengadilan untuk menilai asetnya, menginventaris asetnya kemudian menjualnya secara terbuka, kemudian hasilnya untuk disalurkan dan didistribusikan kepada para kreditur orang tersebut.
Perlu disampaikan bahwa perniagaan itu asasnya atau tujuannya adalah menuruti kemauan masing-masing dalam rangka memenuhi kebutuhan kedua belah pihak, penjual dan pembeli, pemilik barang dan penyewa. Karenanya dalam akad jual beli atau yang serupa akad komersil lainnya orang yang melakukan transaksi, penjual atau pembeli, pemilik barang atau penyewa, punya kelapangan yang selapang-lapangnya untuk membuat satu agreement, suatu kesepakatan, baik itu persyaratan ataupun yang lainnya.
Karena Rasulullah Shallallahu alaihi wa Sallam telah bersabda,
الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ
"Setiap orang islam berkewajiban untuk memenuhi menjalankan persyaratan yang telah disepakati sesama mereka.”
Sehingga selama persyaratan itu tidak bertabrakan, tidak berbenturan, tidak berlawanan dengan prinsip-prinsip hukum syariah maka hukum asalnya adalah boleh, mengadakan persyaratan-persyaratan semacam itu.
Karena hukum asal dari persyaratan itu adalah halal dan tidak haram. Karena memang akad perniagaan itu tujuannya adalah untuk memenuhi kebutuhan atau hasrat dari kedua belah pihak yang melakukan transaksi.
Sehingga tidak ada batasan dalam persyaratan yang boleh diajukan atau dipersyaratkan dalam akad selama persyaratan tersebut tidak bertabrakan dengan hukum-hukum islam. Sehingga Anda boleh mengajukan satu persyaratan, dua persyaratan atau pun lebih.
Ini yang bisa kita sampaikan dalam kesempatan kali ini semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala menjadikan kita termasuk orang-orang yang istimewa
قال با الحسنه
Kurang dan lebihnya saya mohon maaf
وبالله التوفيق و الهداية
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
Komentar
Posting Komentar