DI-0030 - Fiqih Muamalah Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja - Jual Beli Sebelum Barang Dipindahkan Bagian Pertama
🌐 WAG Dirosah Islamiyah
Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad
▪🗓 JUM’AT
| 03 Jumadal Awwal 1442 H
| 18 Desember 2020 M
🎙 Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
📗 Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja
🔈 Audio ke-30
📖 Jual Beli Sebelum Barang Dipindahkan Bagian Pertama
~•~•~•~•~
بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره, ونعوذ بالله من شرور أنفسنا وسيئات أعمالنا من يهده الله فلا مضل له, ومن يضلل فلا هادي له, اما بعد
Alhamdulillah kembali saya dapat hadir ke tengah ruang siar anda untuk bersama-sama mengkaji dan memperdalam ilmu agama Allah subhanahu wa Ta’ala.
Masih bersama matan Kitab Abu Syuja' atau yang dikenal dengan matan al-ghayah fil ikhtisyar. Kali ini sampai pada pernyataan beliau:
ولا بيع ما ابتاعه حتى يقبضه
Tidak boleh menjual kembali barang yang sudah anda beli sampai betul-betul anda menerima barang yang anda beli tersebut.
Secara tekstual penggalan pernyataan Al-Imam Abu Syuja' ini menjelaskan tentang hukum menjualbelikan kembali barang yang sudah anda beli baik itu sudah anda beli dan sudah anda bayar secara lunas, ataupun sudah anda beli dan anda baru membayar uang mukanya saja, atau barang yang anda beli dan anda belum melakukan pembayaran sama sekali.
Selama barang yang anda beli tersebut belum anda terima, kalau itu barang yang bisa dipindahkan maka diterima dengan cara dipindahkan ke rumah anda (ke tempat anda) atau kalau itu adalah semisal properti, tanah, rumah maka serah terimanya dengan cara pengosongan dan serah terima kunci.
Intinya mualif rahimahullah Al-Imam Abu Syuja' menjelaskan,
Siapapun yang membeli suatu barang, baik dia itu belum melakukan pembayaran, atau baru melakukan sebagian dari pembayaran, atau bahkan mungkin sudah lunas sama sekali, tidak lagi tersisa pembayaran sedikitpun, selama barang yang dia beli belum dia terima, baik itu betul-betul barang yang berada di gudang penjual (di toko penjual) atau barang tersebut masih dalam proses pengiriman.
Seperti halnya ketika anda seorang importir, seorang importir sering kali setelah menerbitkan LC (Letter of Credit), kemudian dia mengurus administrasi, kemudian pihak eksportir di luar negeri sana telah mengirimkan barang dan anda telah mendapatkan Bill of Leading-nya bukti bahwa pihak ekportir telah mengirimkan barang tersebut, sehingga LC yang anda terbitkan sudah diakses oleh eksportir, sedangkan barang yang anda beli tersebut masih dalam proses pengiriman (pengapalan).
Dan anda sudah mendapatkan Bill of Leading-nya, bahkan anda sudah mulai mengurus administrasi di Bea Cukai (pelabuhan) misalnya, selama barang tersebut belum sampai ke tempat anda, belum anda terima maka secara redaksi dari pernyataan al-mualif, berarti anda belum boleh menjual kembali barang tersebut.
Karena di sini penulis mengatakan, ولا يبيعو (tidak boleh menjual), ما ابتاعه (barang yang sudah dibeli), حتى يقبضه (sampai betul-betul barang itu berada dalam genggaman anda).
Betul-betul sudah anda terima dan kata-kata yang يقبضه yaitu betul-betul anda genggam, anda terima, bukan sekedar anda terima administrasinya, surat menyuratnya. Tidak! Tapi betul-betul fisik barang yang anda beli itu sudah anda terima.
Kenapa demikian? Ada satu hal yang perlu anda ingat selalu, bahwa Islam menginginkan adanya kepastian hak dan kewajiban. Ketika anda menjual maka anda berkewajiban menyerahkan barang tersebut kepada pembeli dan anda berkewajiban memberikan jaminan (kepastian) bahwa barang yang anda jual betul-betul bisa anda serah terimakan kepada pembeli.
Sebagaimana pembeli berkewajiban memberikan jaminan kepastian bahwa dia akan melakukan pembayaran, baik dengan cara dibayar tunai di saat transaksi, atau dengan komitmen pelunasan pada waktu-waktu yang telah disepakati, atau dengan adanya penjamin hutang, karena akad jual beli itu adalah suatu akad yang berefek terjadinya kepemilikan barang. Barang berpindah dari penjual kepada pembeli. Uang berpindah dari pembeli kepada penjual.
Point yang perlu digaris bawahi Islam menekankan bahwa akad yang anda jalin, karena ini adalah akad komersial, itu harus menghasilkan satu kepastian hak karena Islam mengharuskan adanya kepastian, maka anda selama belum bisa memberikan kepastian, dan kepastian ini betul-betul berdasarkan data, satu fakta yang betul-betul sudah nyata (bukan sekedar asumsi).
Sehingga kalau barang itu belum anda terima maka yang terjadi anda hanya membangun komitmen berdasarkan asumsi (harapan) yang bisa betul, bisa tidak, bisa terwujud, bisa gagal.
Ketika barang yang anda beli misalnya dalam proses delivery, bisa jadi pengirimannya salah alamat, bisa jadi sampai ke rumah anda barangnya rusak, bisa jadi perusahaan pengirimannya (pengapalan) misalnya kecelakaan, dirampok oleh bajak laut atau tenggelam sehingga anda gagal mendapatkan barang.
Ketika anda sebagai penjual gagal mendapatkan barang, anda pun akan gagal menyerahkan barang yang anda jual. Padahal bisa jadi setelah transaksi anda mendapatkan pembayaran bahkan tunai, atau mungkin hanya DP (uang muka). Intinya menjual kembali barang belum anda terima ini menjadikan akad anda, akad yang gambling (tidak ada kepastian hak dan kewajiaban).
Anda tidak bisa memberikan jaminan bahwa anda mampu menyerahkan barang sebagaimana pembeli juga tidak mendapatkan kepastian bahwa dia akan mendapatkan barang yang dia beli.
Walaupun secara hukum, ketika anda telah melakukan satu transaksi. Apalagi sudah sampai pada level pembayaran lunas misalnya. Barang tersebut secara sah hukumnya telah menjadi milik anda, namun lagi-lagi, walaupun itu sudah sah menjadi milik anda. anda belum bisa memiliki kepastian bahwa anda betul-betul bisa mendapatkan barang tersebut.
Kalau anda saja belum bisa mendapatkan kepastian akan mendapatkan barang tersebut, masih ada potensi gagal mendapatkan barang, maka mana mungkin anda bisa memberikan kepastian (jaminan) kepada pembeli, bahwa pembeli akan bisa mendapatkan barang dari anda.
Kalau terjadi gambling semacam ini, ketidakpastian, maka ini membuka celah yang sangat lebar terjadinya praktek memakan harta saudaranya dengan cara-cara yang bathil. Karena ketika anda gagal mendapatkan barang maka anda juga akan gagal memberikan barang tersebut kepada pembeli anda.
Padahal bisa jadi anda sudah memakan pembayaran dari pembeli tersebut, dari customer anda tersebut. Maka ini bisa jadi praktek memakan harta saudaranya sendiri dengan cara-cara yang tidak syar'i.
Hal ini sejalan dengan hadits, yang diriwayatkan oleh sahabat Abdullah ibnu Umar dan yang lainnya Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam Shallallahu 'Alaihi wa Sallam,
نَهَى أَنْ تُبَاعَ السِّلَعُ حَيْثُ تُبْتَاعُ حَتَّى يَحُوزَهَا التُّجَّارُ إِلَى رِحَالِهِمْ
Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam melarang kita menjual kembali barang yang sudah kita beli sampai barang tersebut betul-betul kita terima dan kita pindahkan dari tempat penjual.
Kita belum boleh menjual barang tersebut selama barang itu masih berada di toko (masih berada di tempat penjual pertama) sampai barang itu betul-betul kita bawa ke luar dari toko kita pindahkan tempat, yang tempat tersebut di luar tanggungjawab penjual pertama.
Sehingga ketika anda sudah mendapatkan barang dari penjual berarti anda telah memiliki kepastian yang tetap (yang berkekuatan hukum) memiliki kewenangan untuk melakukan penjualan kembali.
Apalagi anda ingat bahwa selama barang, selama anda masih satu majelis dengan penjual, maka masih ada peluang gagal mendapatkan barang, karena penjual memiliki hak khiyar majelis, anda sudah membeli, anda sudah menerima barang tersebut, tapi ketika anda masih berada di satu majelis bisa jadi penjual menyesal dan melakukan pembatalan.
Kalau ternyata penjual pertama melakukan pembatalan padahal anda telah menjual barang tersebut kepada orang lain, maka akan terjadi kekacauan. Makanya anda tidak boleh menjual walaupun itu sudah sah menjadi milik anda sampai betul-betul barang itu inkrah (berkekuatan hukum final) telah menjadi milik anda.
Ini yang bisa kami sampaikan pada kesempatan kali ini
وبالله التوفيق و الهداية
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
Komentar
Posting Komentar