DI-0034 - Fiqih Muamalah Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja - Jual Beli Daging Dengan Hewan Bagian Kedua

 🌐 WAG Dirosah Islamiyah
Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad

▪🗓 KAMIS
 | 09 Jumadal Awwal 1442 H
 | 24 Desember 2020 M

🎙 Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
📗 Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja

🔈 Audio ke-34
📖 Jual Beli Daging Dengan Hewan Bagian Kedua

~•~•~•~•~


سم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره, ونعوذ بالله من شرور أنفسنا وسيئات أعمالنا من يهده الله فلا مضل له, ومن يضلل فلا هادي له, أشهد ألا إله إلا الله وحده لا شريك له, وأشهد أن محمدا عبده ورسوله. اما بعد

Masih bersama redaksi matan al-ghayah fil ikhtisyar karya syaikh imam Abu Syuja’ rahimahullah ta'ala.

Kali ini kita sampai pada pernyataan beliau:

ولا يجوز بيع اللحم بالحيوان

"Tidak boleh menjualbelikan atau membarterkan daging dengan hewan yang masih hidup.”

Pendapat ketiga, menyatakan bahwa jual-beli atau barter daging dengan hewan hidup perlu dirinci lebih lanjut yaitu dengan mengatakan bila hewan tersebut sama jenis dengan dagingnya alias kambing dengan kambing, sapi dengan daging sapi, ayam dengan daging ayam, maka tidak boleh.

Kenapa? Karena praktek ini mengandung barter bahan makanan dengan sesama bahan makanan tanpa ada kepastian, sama takaran dan sama kadarnya.

Tetapi bila barter itu berbeda jenis atau berbeda tujuan, daging dengan kuda tunggangan, daging dengan keledai. Keledai tidak halal untuk dimakan dagingnya, dia boleh diperjualbelikan untuk dijadikan sebagai alat transportasi atau tunggangan. Kuda biasanya juga tidak untuk dikonsumsi dagingnya tetapi untuk dijadikan sebagai tunggangan.

Jadi karena berbeda tujuan, berbeda maksud dan manfaat, yang satu bahan makanan, yang satu alat transportasi, maka mereka mengatakan boleh untuk dibarterkan karena beda fungsi.  

Atau walaupun itu sama-sama sapi membarterkan daging sapi dengan sapi yang tujuannya (manfaatnya) sebagai sapi induk untuk dikembangbiakkan atau sapi susu, mayoritas masyarakat membeli sapi tersebut, memiliki sapi tersebut, untuk diambil susunya bukan untuk dimakan dagingnya, atau untuk diambil anak keturunannya bukan untuk disembelih.

Karena kita tahu bahwa sapi itu, ada sapi untuk daging (dipelihara dengan digemukkan), digembala atau diberi makan untuk kemudian disembelih, ada pengembala atau pemilik sapi (pemelihara sapi) untuk dikembangbiakan, diambil manfaatnya dengan menghasilkan anak keturunan, dijual dan dipelihara misalnya, atau untuk diambil susunya.

Sehingga dengan demikian hewan ini fungsi dan tujuannya, tujuan memiliki, tujuan menjualbelikan berbeda dengan fungsi daging. Kalau daging fungsinya jelas sebagai makanan, maka ketika berbeda fungsi semacam ini, berbeda tujuan semacam ini, mereka katakan boleh. Ini pendapat ketiga.

Dan masih ada beberapa pendapat lain, namun wallahu ta'ala alam dengan mencermati alasan dan berbagai dalil yang dikemukan oleh para ulama dalam masalah ini, dapat kita simpulkan bahwa pendapat ketigalah yang lebih kuat secara tinjauan dalil alias kita harus memilah fungsi dan tujuan memiliki hewan tersebut.

Kalau tujuannya adalah untuk dijadikan sebagai hewan yang disembelih atau diambil dagingnya, dikonsumsi dagingnya, maka tidak boleh membarterkan daging dengan hewan yang masih hidup, karena ujung-ujungnya hewan tersebut akan disembelih dan menghasilkan daging, padahal kita tidak tahu apakah hasil yang didapat nanti betul-betul sama takaran dan timbangan dengan daging yang sudah siap (ready) tersebut atau tidak sama.

Padahal dalam hukum riba ketika tidak ada kepastian kesamaan takaran, kesamaan ukuran, maka itu tidak boleh terjadi praktek barter. Kalau terjadi praktek barter tanpa ada kepastian kesamaan timbangan atau takaran atau satuan, maka itu disebut dengan riba fadhl dan ini terlarang dalam Islam.

Namun kalau ternyata memiliki hewan tersebut bukan untuk diambil dagingnya tetapi untuk diambil anak keturunannya (dikembangbiakan), diambil susunya, maka berarti kita telah menjualbelikan daging dengan selain harta ribawi atau komoditi riba. Karena sapi tersebut bukan untuk disembelih tetapi untuk diambil susunya, atau hewan tersebut bukan untuk disembelih tetapi untuk dijadikan hewan tunggangan. Sehingga berbeda fungsi.

Perbedaan fungsi ini menjadikan hukum masalahnya berbeda karena pada prakteknya anda tidak sedang menjualbelikan komoditi riba dengan komoditi riba, dengan selisih takaran atau timbangan, tetapi anda menjualbelikan komoditi riba dengan komoditi yang tidak dikategorikan sebagai komoditi riba atau barang ribawiyyah. Ini pendapat kita yang wallahu ta'ala a'lam lebih kuat.

Kemudian kalau anda menjualbelikan daging dengan hewan daging, hewan yang dipelihara, dibeli atau dimiliki untuk diambil dagingnya dengan cara disembelih, maka dalam kasus semacam ini para ulama masih memiliki perincian lebih lanjut yaitu bila hewan tersebut sesama jenis dagingnya yaitu jual-beli daging sapi dengan sapi daging (sapi yang akan disembelih untuk diambil dagingnya) maka di sini berlaku hukum riba.

Tetapi ketika menjual sapi dengan kambing hidup, daging sapi dengan kambing hidup, yang kambing ini bukan untuk diambil susunya atau dikembangbiakan, tetapi betul-betul kambing tersebut akan disembelih diambil dagingnya, maka dalam praktek semacam ini, transaksinya harus dilakukan secara tunai. Terjadi serah terima fisik daging dan serah terima fisik kambing walaupun takarannya berbeda.

Karena sebagaimana halnya anda menjualbelikan gandum dengan kurma sama-sama makanan pokok, sama-sama bahan makanan tetapi beda jenis, maka anda boleh membarterkannya dengan selisih takaran tetapi catatannya (syaratnya) harus terjadi serah terima fisik atau yang disebut dengan tunai, jadi penjual  menyerahkan daging sapi dan pembeli menyerahkan kambing.

Sehingga walaupun nanti kambingnya disembelih menghasilkan daging yang berbeda timbangan, berbeda kadar dari daging sapinya, maka itu tidak masalah, karena berbeda jenis. Sebagaimana boleh menjualbelikan 1 kg gandum dengan 2 kg kurma, atau sebaliknya 1 kg kurma dengan 2 kg gandum, asalkan barternya secara tunai.

Beda halnya kalau daging kambing dibarterkan dengan kambing hidup yang itu untuk disembelih diambil dagingnya maka ini terlarang secara mutlak. Karena, walaupun terjadi serah terima fisik alias transaksinya tunai tetapi kadar dagingnya dengan kadar daging yang akan di dapat dari kambing yang masih hidup itu tidak bisa dipastikan sama, alias tidak memenuhi salah satu kriteria hukum barter komoditi riba yaitu sama takarannya.

Ini yang bisa kita sampaikan pada kesempatan ini, kurang dan lebihnya mohon maaf. Kita akhiri dengan kafaratul majelis.

سبحانك اللهم وبحمدك أشهد إن لا إله إلا أنت استغفرك وأتوب إليك  
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•

Komentar