DI-0009 - Fiqih Muamalah Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja - Pembagian Akad Dalam Islam Bagian Ketiga
🌐 WAG Dirosah Islamiyah
Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad
▪🗓 KAMIS
| 04 Rabi’ul Akhir 1442 H
| 19 November 2020 M
🎙 Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
📗 Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja
🔈 Audio ke-09
📖 Pembagian Akad Dalam Islam Bagian Ketiga
~•~•~•~•~
بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره, ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا من يهده الله فلا مضل له, ومن يضلل فلا هادي له,اما بعد
Berjumpa kembali dengan saya dalam program acara ini, yang kita akan bersama-sama mengetengahkan pembicaraan tentang Fiqih Muamalah. Yaitu seluk beluk hukum-hukum Islam dalam perniagaan Islam.
Di antara hal yang perlu digarisbawahi sebelum kita masuk dalam pembahasan fiqih muamalah secara terperinci.
Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menetapkan telah menggariskan bahwa yang namanya transaksi, apapun namanya, apapun modelnya, haruslah dilakukan secara تراض (suka sama suka)
Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman, "Wahai orang yang beriman janganlah kalian memakan harta sesama kalian kecuali bila itu terjadi melalui satu hubungan perdagangan jual beli yang dilakukan secara تراض (suka sama suka)”. [QS. An-Nisa: 29]
Rasulullah juga bersabda,
إِنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ
“Sejatinya yang namanya jual beli itu haruslah dilakukan secara suka sama suka.”
Karenanya sebagai aplikasi dari prinsip dasar ini kapanpun dan alasannya apapun, kalau suatu akad itu ternyata dilakukan tanpa asas suka sama suka, atau tindakan apapun yang menyebabkan tidak terpenuhinya secara utuh kerelaan antara kedua belah pihak maka tindakan itu akan berpengaruh pada keabsahan akad.
Misalnya rasa sungkan, Anda sungkan untuk tidak membeli. Kenapa? Karena bisa jadi penjualnya mengatakan,
"Kemarin saya sudah bantu Anda ya, waktu Anda susah saya bantu. Waktu Anda kurang modal saya tolongi, sekarang saya jualan silahkan membeli."
Omongan ini bisa menyebabkan calon pembeli merasa berhutang budi. Akhirnya sungkan untuk tidak membeli, maka dalam kasus semacam ini kata para ulama itu tidak dibenarkan, karena tidak memenuhi syarat rela sama rela.
Sebetulnya dia membeli karena faktor sungkan saja atau faktor malu.
Kadang kala seorang marketing, mengeksploitasi rasa gengsi pembeli, dengan mengatakan, "Andakan seseorang kepala desa, Andakan seorang ini dan dan seorang itu, masa tidak membeli produk ini”.
Ketika ini terjadi maka akan menimbulkan rasa risih, rasa sungkan, gengsi, akhirnya dia terpaksa membeli demi menjaga harga dirinya, maka adanya rasa sungkan semacam ini menjadikan akad tersebut tidak memenuhi persyaratan akad, maka haram atau dikatakan tidak sah.
Karenanya ketika Anda berdagang berjualan biarkan customer Anda membeli sesuai dengan apa yang dia inginkan, kalau dia tidak ingin membeli abaikan saja, biarkan saja, jangan dikondisikan sedemikian rupa sehingga dia sungkan untuk tidak membeli
Anda mungkin berkata bukankah تراض rela, suka sama suka itu sesuatu yang خفت sesuatu yang samar, maka jawabannya itu betul. Kerelaan itu adalah unsur yang ada di dalam hati. Dan itu samar, abstrak.
Namun walaupun itu abstrak, walaupun itu samar, ada indikator-indikator yang dengan mudah kita temukan yang itu akan mengarahkan kita kepada apa motivasi dia bertransaksi, membeli atau menjual.
Mukanya memerah karena malu, dahinya dikernyitkan dan yang serupa itu bisa menjadi indikator (petunjuk) apakah dia rela ataupun tidak sepenuhnya atau karena dia membeli karena faktor sungkan ataupun gengsi.
Karenanya ingatlah selalu ketika Anda ingin bertransaksi biarkan lawan transaksi Anda betul-betul menata hatinya, betul-betul mempersiapkan dirinya bahwa dia akan membeli atau membatalkan tanpa ada intimidasi secara fisik, ataupun tanpa ada tindakan-tindakan yang menyebabkan dia gengsi atau merasa malu.
Agar transaksi yang Anda jalankan betul-betul karena suka sama suka, rela sama rela, bukan karena sungkan, bukan karena keterpaksaan.
Dan perlu digarisbawahi di sini bahwa yang dimaksud keterpaksaan ini, keterpaksaan yang tanpa alasan. Adapun orang yang terpaksa menjual karena harus membayar hutang, terpaksa menjual karena untuk biaya sekolah anaknya, atau pengobatan keluarganya maka ini bukan keterpaksaan yang dipedulikan dalam hukum
Yang dimaksud keterpaksaan disini adalah keterpaksaan yang dilakukan atau peyebabnya adalah perilaku penjual yang mengkondisikan pembeli atau sebaliknya perilaku pembeli yang mengkondisikan penjual yang akhirnya dia terpaksa.
Ini yang bisa kita sampaikan pada sesi kali ini, kurang dan lebihnya mohon maaf
وبالله التوفيق و الهداية
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
Komentar
Posting Komentar