DI-0072 - Fiqih Muamalah Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja - Ash-Shulhu (Kesepakatan Damai) Bagian Ketiga - Jenis Pertama
🌐 WAG Dirosah Islamiyah
Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad
▪🗓 RABU
| 19 Dzulqa’dah 1442H
| 30 Juni 2021M
🎙 Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
📗 Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja
🔈 Audio ke-72
📖 Ash-Shulhu (Kesepakatan Damai) Bagian Ketiga - Jenis Pertama
~•~•~•~•~
بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله، والصلاة و السلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه ومن والاه أمام بعد
Kaum muslimin dan muslimat peserta grup Dirosah Islamiyyah yang semoga senantiasa dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla. Masih bersama Matan Al Ghayah Fil Ihtishor buah karya Asy Syaikh Al Imam Abu Syuja' Rahimahullahu Ta'ala.
Kesempatan kali ini kita sampai pada penjelasan tentang الصلح Ash-Shulhu, perdamaian, perdamaian antara dua orang yang bersengketa atau berselisih.
Telah disampaikan pada sesi sebelumnya bahwa dalam Madzhab Syafi'i diajarkan bahwa الصلح (Ash-Shulhu) itu hanya boleh dilakukan di saat terjadi kesepahaman (kesepakatan). Namun walau mereka sepakat ada hal-hal yang masih mengganjal atau masih mereka perselisihkan.
Inti masalah yang mereka permasalahkan disepakati seperti kedua belah pihak mengakui adanya ikatan hutang piutang maka dalam kondisi semacam ini dibolehkan untuk صلح (Shulhu). Baik dengan memaafkan sebagian, menunda pembayaran, atau melakukan pembayaran dengan benda lain.
Akan tetapi bila salah satu pihak mengingkari keberadaan ikatan tersebut misalnya penjual melakukan penagihan kepada pembeli dengan dalih pembeli belum melunasi pembayarannya. Namun ternyata pembeli mengklaim bahwa dirinya telah melakukan pembayaran (lunas) sehingga tidak lagi ada sisa tanggungan yang harus dia bayarkan.
Dalam kondisi semacam ini terjadi ‘ingkar’. Pembeli mengingkari tuduhan yang dilontarkan oleh pembeli, maka dalam madzhab Syafi'i tidak boleh ada solusi Ash-Shulh (damai).
Kenapa? Karena damai dalam kondisi semacam ini, ini menyebabkan satu dari keduanya, satu dari dua orang yang berbeda itu akan memakan harta orang lain dengan cara-cara yang zhalim.
Andai dalam kasus ini yang benar adalah penjual, berarti ketika ada damai dengan memaafkan sebagian hak, berarti kita telah melegalkan membuka pintu untuk pembeli (memakan) sebagian harta penjual.
Atau sebaliknya, kalau yang salah adalah penjual, maka dalam kondisi semacam ini berarti kita telah melegalkan penjual untuk memakan harta pembeli, dan itu adalah ta'awun (tolong menolong) dalam perbuatan dosa.
Karenanya dalam Mazhab Syafi'i, Shulh (صلح) dalam kondisi ingkar tidak dibenarkan. Namun, Wallahu Ta'ala A’lam, dalil-dalil lain yang bersifat umum (yang menganjurkan) Ash-Shulh (damai) bersifat umum. Sehingga mencakup ( صلح ) perdamaian dalam kondisi ada kesepakatan (kesepahaman) atau dalam kondisi tidak dicapai kata sepakat (terjadi persengketaan) dalam seluruh masalah.
Apa yang diutarakan dalam Madzhab Syafi'i telah kita sampaikan bahwa alasan yang diutarakan oleh Madzhab Syafi'i itu masih bisa diarahkan (dikompromikan) karena akad ini melibatkan dua belah pihak. Sehingga yang berdosa, yang terkena berbagai larangan yang telah diutarakan oleh para ulama Syafi'i adalah pihak yang zhalim (yang berdusta).
Adapun pihak yang merasa berkepentingan untuk melakukan damai dalam rangka menghindari hal yang lebih berat, konsekuensi yang lebih berat untuk dipikul maka tidak ada alasan untuk mengharamkan.
Seperti halnya ketika anda disatroni oleh perampok anda hanya diberi pilihan menyerahkan harta atau dibunuh, dan kemudian hartanya diambil. Dalam kondisi terjepit semacam ini sering kali orang berpikir realistis. Daripada kehilangan nyawa, kehilangan harta, lebih baik kehilangan harta tapi nyawa selamat. Karena harta masih bisa dicari tapi nyawa siapa yang bisa mengganti?
Baik. Itu telah kita bahas telah kita kaji pada sesi sebelumnya.
Untuk kali ini kita sampai pada pernyataan Al Mualif :
وهو نوعانِ : إبراءٌ ، ومعا وضةٌ.
Menurut beliau, Ash-Shulh: damai, perjanjian damai, kesepakatan damai, atau win win solution (solusi kekeluargaan). Itu ada dua model katanya.
إبراءٌ ، ومعا وضةٌ
(1) Ibra (إبراءٌ) , yaitu memaafkan seluruh hak atau sebagiannya.
(2) Mu’āwadhah (معا وضةٌ), barter, membarterkan hak yang terutang dengan benda lain.
Contoh إبراءٌ adalah ketika ada dua orang yang berbeda dalam masalah utang piutang. A berhutang 100 juta kepada si B, ketika jatuh tempo ternyata si A tidak mampu atau terhalang (memiliki kesulitan untuk melakukan pembayaran).
Akhirnya si A menempuh jalur kekeluargaan. Dia meminta kepada si B agar si B memaafkan, memberikan diskon atas hutang yang harus dibayar oleh si A. Mengajukan keringanan, dan ternyata disepakati. Si B dengan sukarela memaafkan, memberikan diskon keringanan atas tagihannya. 10 persen, 50 persen atau yang serupa.
Memaafkan hak semacam ini bila itu dilakukan secara sukarela tanpa intimidasi, tanpa keterpaksaan itu sah-sah saja.
Suatu hari di zaman Nabi Shalallahu 'Alaihi Wa Sallam ada dua orang yang bersengketa masalah utang piutang. Karena mereka berseteru di dalam masjid akhirnya perseturan mereka, percekcokan mereka di dengar oleh Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam sehingga beliau keluar dari rumahnya dan berusaha mendamaikan kedua belah pihak.
Maka dengan taufik dari Allāh Subhānahu wa Ta’āla dan kearifan beliau dalam mengkompromikan kedua belah pihak akhirnya dicapailah kesepakatan.
Dan Nabi menganjurkan andho’i ats-tsuluts (أَن ضغع الثُّلُثِ), Nabi menganjurkan kepada pihak kreditur yang menghutangi agar dia memaafkan sepertiga, memberikan diskon sebesar sepertiga dari bagian yang dia inginkan.
Maka disepakatilah dari pihak kreditur akhirnya memaafkan sepertiga piutangnya, dan kemudian pihak debitur (pihak yang berhutang) sanggup secara kooperatif untuk melunasi 2/3 dari hutang yang dia pikul.
Ini, pola semacam ini disebut dengan Ibra’ (إبراءٌ). Demikian pula halnya ketika ada pihak yang memaafkan seluruh haknya. Misalnya pihak tadi, kasus A dan si B. Si B kemudian mengatakan, “Saya maafkan, saya bebaskan dan saya anggap lunas.” Seperti ini juga boleh. Itu termasuk kategori Ibra’ ( إبراءٌ).
Allāh Subhānahu wa Ta’āla dalam Al-Qurānul Karim menyebutkan 2 contoh Ibra’ (إبراءٌ), memaafkan sebagian hak.
Contoh pertama adalah kasus suami istri. Ketika suami menikah atau lelaki menikah, menikahi seorang wanita dengan mas kawin terutang yang dibayar pada waktu yang akan datang. Dan telah disepakati untuk adanya akad pernikahan semacam ini, maka mereka menikahlah.
Setelah menikah, bisa jadi istri merasa iba dengan suaminya. Maka istri boleh legal secara syari'at untuk kemudian memaafkan sebagian atau seluruh mas kawinnya alias membebaskan suaminya dari sebagian atau seluruh mas kawin yang harus dibayarkan.
Dan ini sah secara hukum syari'at. Bukan berarti nikah tanpa mas kawin. Mereka nikah dengan mas kawin namun kemudian istri setelah terjadi pernikahan karena satu atau dua alasan memaafkan suaminya dan itu sah-sah saja.
Karena Allāh Subhānahu wa Ta’āla telah mengizinkan hal itu dalam firman-Nya:
وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَٰضَيْتُم بِهِۦ مِنۢ بَعْدِ ٱلْفَرِيضَةِ ۚ
“Tidak mengapa untuk kalian wahai kaum suami untuk memakan, menerima mas kawin yang kemudian direlakan oleh istrimu setelah adanya ketetapan mas kawin itu.” [QS An-Nisa: 24]
Alias ketika sudah terjadi kesepakatan untuk membayar sejumlah mas kawin kemudian pernikahan pun telah sah dan ternyata di kemudian hari istri memaafkan semua atau sebagiannya maka itu satu uluran tangan yang baik dari istri.
Dan suami tidak tercela karena ketika menerima hal tersebut baik dikembalikan secara tunai mas kawin tersebut atau dibebaskan dari tagihannya, dari beban mas kawin. Dan ini sah secara hukum syari'at.
Contoh kedua Allāh Subhānahu wa Ta’āla juga menceritakan perihal utang piutang dalam surat Al-Baqarah. Allāh Subhānahu wa Ta’āla menceritakan kewajiban orang yang berhutang membuat alat bukti berupa tulisan. Kemudian di akhir ayat Allah menceritakan tentang riba, dosanya riba dan kemudian Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman :
وَأَن تَعْفُوا أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ
“Kalau kalian memaafkan itu lebih dekat dengan ketakwaan.” [QS Al-Baqarah: 237]
Dalam ayat lain Allah sebutkan,
وَأَنْ تَعْفُوا
“Kalau kalian memaafkan maka itu lebih baik bagi kalian”.
Ayat ini menjelaskan tentang memaafkan atau membebaskan sebagian orang yang berhutang dari sebagian tagihannya atau bahkan semuanya.
وَأَن تَصَدَّقُوا۟
“Kalau kalian bersedekah.” [QS. Al-Baqarah : 280]
Dan kata-kata sedekah itu mencakup sedekah dengan memberi atau sedekah dengan cara memaafkan. Ini semuanya adalah sah secara syari'at.
Ini model perdamaian yang pertama, yaitu dengan memaafkan sebagian atau semuanya.
Ini yang bisa kami sampaikan pada kesempatan kali ini. Kurang dan lebihnya mohon maaf.
وبالله التوفيق و الهداية
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
Komentar
Posting Komentar