DI-0076 - Fiqih Muamalah Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja - Ash-Shulhu (Kesepakatan Damai) Bagian Ketujuh

 🌐 WAG Dirosah Islamiyah
Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad

▪🗓 SELASA
 | 25 Dzulqa’dah 1442H
 | 06 Juli 2021M

🎙 Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
📗 Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja

🔈 Audio ke-76
📖 Ash-Shulhu (Kesepakatan Damai) Bagian Ketujuh

~•~•~•~•~

بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله، والصلاة و السلام على رسول الله  وعلى آله وأصحابه ومن والاه أمام بعد

Kaum muslimin dan muslimat peserta grup Dirosah Islamiyah yang semoga senantiasa dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Kita masih berbicara, berbincang-bincang tentang Bab Ash-Shulhu (الصلح) atau perdamaian. Al-Imam Abu Syuja' rahimahullah ta’ala, beliau mengatakan,

ولايجو ز تعليقه على شرط

Dan Ash-Shulh (الصلح) yang berupa ibrā' (إبراء) perdamaian yang berupa memaafkan sebagian hak harus dilakukan secara tulus, kenapa? Karena dikatakan muallif,

ولايجو ز تعليقه على شرط

Tidak boleh kita lakukan dengan syarat, kalau memang mau memaafkan ya memaafkan tanpa syarat. Jangan berkata ketika memaafkan, "Saya maafkan kalau kita ketemu lagi di bulan depan". "Saya maafkan 30% dari tagihan utang saya dengan syarat bila si fulan datang atau bila direstui oleh si fulan".

Atau dengan syarat bila besok engkau berbuat demikian atau demikian.

Adanya persyaratan ini menjadikan akad ibrā' (إبراء), memaafkan sebagian hak ini menjadi gharar (tidak jelas) tidak ada kepastian, jadi dimaafkan atau tidak.

Padahal secara tinjauan fiqih, perlu digarisbawahi bahwa secara tinjauan disiplin ilmu fiqih terutama dalam madzhab Syafi'i, akad-akad sosial karena perdamaian dengan memaafkan itu merupakan bentuk dari akad sosial.

Akad sosial itu seringkali mengandung unsur gharar (ketidakpastian) sehingga ketika ditambah lagi ada aspek baru (kriteria baru) yang memunculkan gharar, menjadikan kandungan gharar pada akad tersebut semakin jelas (dominan) maka akadnya menjadi tidak sah (bathil).

Ini secara tinjauan ilmu fiqih dalam madzhab Asy-Syafi'i, kalau memang memaafkan, maafkanlah tanpa syarat. Jangan bersyarat ketika memaafkan. Itu fatwa yang diajarkan dalam madzhab Imam Asy-Syafi'i rahimahullahu ta'ala.

Namun kalau kita kemudian komparasikan dengan madzhab yang lain, bandingkan dengan madzhab yang lain, atau kita kaji secara tinjauan dalil, adakah satu dalil baik dari Al-Quran atau As-sunnah atau 'Ijma' yang mengharamkan (melarang) adanya syarat  dalam إبراء (memaafkan).

Dalil-dalil yang berkaitan dengan الصلح  (perdamaian) semuanya bersifat mutlak alias dalil-dalil tersebut mengajarkan, membolehkan adanya praktek الصلح  secara mutlak tanpa syarat apapun, kecuali satu syarat yaitu melanggar aturan syari'at.

Ketika perdamaian tersebut menyebabkan anda melakukan yang haram, menabrak batas-batasan halal haram, mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram, maka itulah perjanjian yang terlarang.

Sehingga Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam bersabda,

الصُّلْحُ جَائِزٌ
 
“Semua jenis, semua bentuk perjanjian itu boleh (sah).”

إِلَّا صُلْحًا أَحَلَّ حَرَامًا أَوْ حَرَّمَ حَلَالًا

“Kecuali perdamaian yang menyebabkan anda mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.”

Seperti yang pernah dilakukan oleh Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam ketika beliau minum madu dari salah satu rumah istri Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam.

Setiap kali berkunjung ke rumahnya beliau disuguhi madu dan diminum. Di saat istri-istri yang lain termasuk Aisyah, Hafshah serta yang lainnya tidak memiliki madu yang bisa disuguhkan kepada Nabi.

Maka terjadi kecemburuan sosial, akhirnya terjadi perseteruan di kalangan istri Nabi. Sehingga Hafshah, Aisyah serta beberapa istri yang lain, Maemunah, mereka bermusyawarah untuk bagaimana caranya agar istri Nabi yang satu tersebut yang biasa menyuguhi madu kepada Nabi tidak lagi bisa menyuguhkan madunya kepada Nabi.

Maka mereka bersepakat untuk berkata kepada Nabi, setiap kali berjumpa dengan Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam salah satu dari mereka, Aisyah atau Hafshah atau yang lain, istri-istri Nabi tersebut berkata, "Ya Rasulullah aroma apa yang kurang sedap yang muncul dari dirimu?"

Dan perlu diketahui bahwa Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam adalah orang yang paling pantangan dengan hal-hal yang menimbulkan aroma tidak sedap. Sehingga ketika pertanyaan ini disampaikan, pikiran Nabi sudah melayang kemana-mana termasuk pengaruh madu tersebut.

شَرِبْتُ عَسَلًا عِنْدَ فُلاَنة

"Aku minum madu di tempatnya fulanah, istriku yang satunya lagi".

Ketika Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam masuk ke rumahnya Hafshah pun demikian. Hafshah mengatakan, "Aroma tidak sedap apa yang aku dapatkan darimu ya Rasulullah?"

Sehingga lagi-lagi Nabi menjawab, "Tidak ada lagi yang aku lakukan kecuali aku minum madu di rumahnya fulanah".

Maka, kemudian setelah itu Nabi berikrar untuk menepis komentar negatif dari istrinya tersebut dan mengatakan, "Kalau begitu saya tidak akan minum madu lagi". Bersumpah untuk tidak minum madu.

Dalam riwayat lain Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam ketika sampai ke rumahnya Hafshah, Hafshah didapatkan cemburu (marah) kepada Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam, karena Nabi seringkali mendatangi rumah budak beliau yang bernama Mariah Qibthiyah, yang baru saja melahirkan dan memiliki seorang anak bayi yang kecil yang bernama Ibrahim.

Sehingga natural secara alami seorang ayah, Nabi seorang manusia biasa memiliki perasaan, ada kasih sayang, ketika budaknya memiliki anak, apa lagi itu anak laki-laki maka dalam diri Nabi ada rasa rindu ingin sering, ingin lebih lama lagi duduk dan bersama si anak kesayangan ini.

Sehingga Nabi seringkali datang ke rumahnya Mariah untuk menjenguk anaknya, namun ternyata Hafshah cemburu. Sehingga Hafshah menunjukkan kecemburuan yang sangat mendalam kepada Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam.

Dan akhirnya Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam berkomitmen untuk melipur hati Hafshah, untuk tidak lagi menggauli Mariah Qibthiyah, tidak lagi menggauli budaknya.

Ini sebuah perdamaian yaitu Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam berkomitmen untuk tidak menggunakan haknya, tanazul dari haknya sebagai seorang majikan atas budaknya yaitu Mariah demi mendapatkan keridhaan, demi  menyenangkan istri beliau tercinta yaitu Hafshah.

Ini sebuah perdamaian antara Nabi dengan Hafshah namun ternyata ini perdamaian yang berkonsekuensi mengharamkan yang halal, maka Allah tegur dengan Allah menurunkan satu surat yaitu surat Tahrim

يٰٓاَيُّهَا النَّبِيُّ لِمَ تُحَرِّمُ مَآ اَحَلَّ اللّٰهُ لَكَۚ تَبْتَغِيْ مَرْضَاتَ اَزْوَاجِكَۗ

"Wahai Nabi kenapa engkau mengharamkan atas dirimu sesuatu yang Allah halalkan untukmu hanya gara-gara kamu ingin menyenangkan istrimu?”


قَدْ فَرَضَ اللّٰهُ لَكُمْ تَحِلَّةَ اَيْمَانِكُمْۚ

“Allah telah mewajibkan atas dirimu untuk menebus sumpahmu tersebut.” [QS At-Tahrim: 1-2]

Ini adalah sebuah fakta bahwa perjanjian yang menyebabkan kita terjerumus ke dalam mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram itu perjanjian yang batal demi hukum.

Sehingga kalau kita gabungkan dalil-dalil ini kita akan dapatkan satu kesimpulan. Hukum asal Ash-Shulhu (perdamaian) itu boleh, kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.

Sedangkan dalam praktek perdamaian dengan cara memaafkan sebagian hak atau memaafkan semua hak namun pemaafan tersebut bersyarat yaitu, “bila datang waktu fulan demikian, bila si fulan datang maka saya akan maafkan sebagian”.

Dalam praktek ini tidak ada konsekuensi mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram sehingga secara tinjauan dalil seharusnya Shulhu semacam ini boleh karena tidak ada melanggar aturan syariat dan itu wallahu ta'ala a'lam pendapat yang lebih kuat dalam hal ini.

Yaitu boleh terjadi Shulhu (damai) termasuk damai dengan cara memaafkan sebagian hak walaupun itu dengan adanya syarat-syarat tertentu selama tidak melanggar aturan syariat.

Demikian yang bisa kami sampaikan pada kesempatan kali ini, kurang dan lebihnya saya mohon maaf


وبالله التوفيق و الهداية
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•

Komentar