DI-0081 - Fiqih Muamalah Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja - Al-Hawalah (Transfer Hutang Piutang) Bagian Keempat

 🌐 WAG Dirosah Islamiyah
Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad

▪🗓 SELASA
 | 03 Dzulqa’dah 1442H
 | 13 Juli 2021M

🎙 Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
📗 Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja

🔈 Audio ke-81
📖 Al-Hawalah (Transfer Hutang Piutang) Bagian Keempat

~•~•~•~•~

بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله، والصلاة و السلام على رسول الله  وعلى آله وأصحابه ومن والاه أمام بعد

Kaum muslimin dan muslimat peserta grup Dirosah Islamiyah yang semoga senantiasa dirahmati oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala.


Masih bersama untaian matan atau kata-kata dari Imam Al-Muallif Abu Syuja’ rahimahullah ta'ala, dalam kitabnya Matan Al Ghaya Fil Ihtishor, kali ini kita sampai pada pembahasan tentang Al-Hawalah (الحوالة) yaitu mentransfer hutang.


Syarat ketiga:

وكون الحق مستقرا في الذمة

Piutang si B sebagaimana pula piutang si A kepada si C, itu semua adalah piutang yang sudah inkrah, suatu piutang yang sudah berkekuatan hukum alias tidak ada potensi batal, potensi gagal.

Sehingga betul-betul piutangnya si B kepada si A, sebagaimana pula piutang si A kepada si C, itu betul-betul sudah final tidak ada kemungkinan batal, alias betul-betul sudah berkekuatan hukum, sudah tetap (itu sebuah piutang yang sudah tetap dan wajib dibayar).

Adapun piutang yang belum tetap, baik piutang si B kepada si A ataupun piutangnya si A kepada si C, maka tidak boleh ada praktek hawalah (الحوالة)

Kenapa demikian? Karena menurut madzhab Imam Asy-Syafi'i, hawalah (الحوالة) itu adalah jual beli hutang dengan hutang.  

Sehingga kalau hutang si A kepada si B atau pun hutang si C kepada si A, salah satunya adalah hutang yang belum tetap, masih ada potensi batal. Maka membuka terjadinya praktek jual-beli uang dengan uang secara non tunai.

Dan ini tentu terlarang kalau itu dalam praktek jual-beli. Namun sekali lagi bahwa yang lebih tepat, lebih kuat hawalah (الحوالة) itu bukan jual-beli hutang dengan hutang, tetapi itu salah satu bentuk atau satu instrumen pembayaran hutang-piutang.

Sehingga persyaratan bahwa hutangnya harus telah berkekuatan hukum itu secara tinjauan dalil kurang begitu kuat. Selama terjadi kerelaan, kesepakatan maka tidak mengapa sehingga misalnya seperti ini;

Ketika si A telah memiliki piutang kepada si C dan piutang ini telah berkekuatan hukum, kemudian si A berencana untuk melakukan atau mengambil hutang dari si B.

Kemudian ada kesepakatan bahwa si B akan memberikan talangan pendanaan (pembiayaan) sejumlah piutang si A kepada di C, pada waktu yang akan datang.

Misalnya seperti yang sering terjadi sekarang di praktek perbankan. Ketika anda mentautkan suatu transaksi dengan rekening anda, kalau saya bertransaksi maka langsung auto debit dari rekening tersebut.

Seringkali kawan-kawan yang telah sadar tentang haramnya riba, namun terpaksa harus menggunakan kartu kredit, maka sering kali menggunakan skema auto debit, sehingga dia telah membuat suatu kesepakatan dengan pihak penerbit kartu kredit.

Bahwa setiap transaksi yang timbul dengan kartu kredit tersebut, maka akan terjadi praktek auto debit dari rekening yang telah dimiliki oleh pengguna kartu kredit tersebut.

Praktek semacam ini, ini bisa dikategorikan sebagai bentuk hawalah (الحوالة) karena ketika si pemilik kartu kredit melakukan transaksi di suatu mall ataupun hotel (sewa-menyewa hotel) misalnya, kamar di hotel ataupun yang lainnya.

Maka sejatinya ketika transaksi ini, dia telah berkewajiban melakukan pembayaran senilai transaksinya, namun dia tidak melakukan pembayaran secara tunai.

Tetapi apa yang dilakukan? Pembayarannya langsung dibebankan kepada rekening yang dia miliki yang ada di suatu bank.

Sehingga praktek semacam ini, auto debit semacam ini bisa dikategorikan sebagai bentuk hawalah (الحوالة), namun tentu sekali lagi, auto debit ini tidak memenuhi kriteria yang disebutkan oleh madzhab Imam Asy-Syafi'i.

Namun karena, sekali lagi pendapat yang paling kuat hawalah (الحوالة) itu adalah bentuk instrumen pembayaran hutang maka praktek semacam ini, secara hukum boleh.

Karena memang madzhab Syafi'i boleh dikata mempersepsikan hawalah (الحوالة) itu sebagai bentuk jual-beli. Sehingga persyaratan hawalah (الحوالة) dalam madzhab Syafi'i itu sangat ketat bahkan bisa dikatakan akan sangat sulit bisa dipenuhi oleh seseorang yang ingin menerapkan praktek hawalah (الحوالة).

Karena itu sekali lagi, dalam hal ini yang lebih kuat adalah pendapat yang diajarkan dalam madzhab Imam Malik dan juga Imam Ahmad bin Hambal bahwa halawah (الحوالة) itu adalah bentuk instrumen pembayaran hutang bukan jual-beli hutang dengan hutang.


Ini yang bisa saya sampaikan pada kesempatan kali ini, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menambahkan taufik dan hidayah kepada anda. Kurang dan lebihnya saya mohon maaf.


وبالله التوفيق و الهداية
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•

Komentar