DI-0082 - Fiqih Muamalah Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja - Al-Hawalah (Transfer Hutang Piutang) Bagian Kelima

 🌐 WAG Dirosah Islamiyah
Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad

▪🗓 RABU
 | 04 Dzulhijjah 1442H
 | 14 Juli 2021M

🎙 Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
📗 Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja

🔈 Audio ke-82
📖 Al-Hawalah (Transfer Hutang Piutang) Bagian Kelima

~•~•~•~•~

بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله، والصلاة و السلام على رسول الله  وعلى آله وأصحابه ومن والاه أمام بعد

Kaum muslimin dan muslimat peserta grup Dirosah Islamiyah yang semoga senantiasa dirahmati oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Masih bersama untaian matan atau kata-kata dari Imam Al-Muallif Abu Syuja’ rahimahullah ta'ala, dalam kitabnya Matan Al Ghaya Fil Ihtishor, kali ini kita sampai pada pembahasan tentang Al-Hawalah (الحوالة) yaitu transfer hutang piutang.

Kali ini beliau mengatakan,

وكون الحق مستقرا في الذمة،

Hawalah (transfer hutang) dibolehkan bila hutang tersebut betul-betul telah berkekuatan hukum (telah tetap).

مستقرافي الذمة

Bukan hutang yang akan terjadi atau hutang yang potensi batal. Betul-betul  mustaqir (مستقر).

Dengan demikian, mengadakan akad الحوالة (transfer hutang) pada hutang piutang yang belum tetap, masih ada kemungkinan batal atau hutang yang belum terjadi, sebagai contoh misalnya:

A memberikan piutang kepada si C sebesar Rp.100 juta, dengan demikian si C pada waktu yang telah disepakati (misalnya) satu bulan yang akan datang berkewajiban membayar sebesar Rp.100 juta kepada si A.

Kemudian si A berkata kepada si B, "wahai si B kalau aku butuh nanti aku akan berhutang kepadamu sebesar seratus juta" atau "besok saya akan berhutang kepadamu seratus juta dan pembayarannya silahkan engkau menagih kepada si C, karena si C berhutang kepada saya sebesar seratus juta".

Kesepakatan semacam ini dalam madzhab al-Imam Syafi’i tidak dibenarkan, Kenapa?

Karena ikatan hutang piutang antara si A dan si B belum tetap, baru rencana hutang-piutang. Padahal dalam terminologi dalam sudut pandang madzhab Syafi’i akad الحوالة itu adalah bentuk dari akad jual beli yaitu anda menjual piutang anda atas si C kepada si B.

Namun kalau ternyata hubungan hutang pihutang anda dengan si B belum tetap maka ini terjadi jual beli hutang dengan hutang secara non tunai atau mengandung unsur gharar.

Namun seperti yang pada sesi sebelumnya telah disampaikan bahwa menurut pernyataan ataupun pendapat yang lebih kuat dan sejalan/lebih dekat dengan makna hadits nabi shallallahu'alaihi wa sallam, akad الحوالة tidak dapat diklasifikasikan sebagai akad jual beli hutang dengan hutang atau jual beli piutang dengan piutang tetapi lebih tepatnya akad الحوالة itu diklasifikasikan sebagai instrumen pembayaran (instrumen pelunasan) hutang.

Apa dasarnya?

Dasarnya Nabi shallallahu'alaihi wa sallam bersabda,

مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ

Penundaan orang yang sudah berkecukupan memiliki kemampuan untuk melunasi hutang itu adalah bentuk kezhaliman. Itu adalah salah satu praktek kesewenang-wenangan (kezhaliman).

Kemudian Nabi shallallahu'alaihi wa sallam memberikan (menjelaskan) konsekuensi dari perbuatan zhalim dengan cara menunda pembayaran

يُحِلُّ عِرْضَهُ وَعُقُوبَتَه

Kalau orang yang sudah berkecukupan mampu melakukan pelunasan hutang namun dia tidak melakukannya (sengaja menunda) maka,

يُحِلُّ عِرْضَهُ وَعُقُوبَتَه

Kehormatannya boleh dilanggar dengan cara digunjing, dengan cara disampaikan kepada orang yang berwenang untuk dilakukan tindakan yang seperlunya untuk menghentikan kezhaliman orang tersebut.

Atau kalau dalam konteks modern, jaman kita sekarang, mungkin kita mengajukan (melaporkan) kepada institusi (lembaga) yang berwenang untuk menerbitkan, misalnya blacklist sehingga orang tersebut diklasifikasikan tidak kooperatif dalam melakukan pembayaran hutang.

Atau mengajukan hukum pailit ke pengadilan, melaporkan ke pengadilan agar dia dipailitkan,

 وَعُقُوبَتَه
 
Dan kalau memang dirasa perlu maka pihak pengadilan berhak (berwenang) untuk menjatuhkan hukuman kepada orang tersebut, baik dengan cara dipenjara atau dengan cara dicambuk (dipukul) agar dia menghentikan kezhalimannya dengan cara segera membayar hutang.

Selanjutnya Nabi bersabda,

وَ إِذَا أُحِيلَ أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِيٍّ فَلْيَحْتَلْ

Kalau engkau memiliki piutang atas seseorang kemudian orang itu mentransferkan piutangmu (memindahkan) atau meminta kepadamu untuk menagihkan piutangmu kepada orang lain yang مَلِيٍّ (adalah orang yang mampu orang, yang cakap secara hukum) untuk melakukan pembayaran. Memiliki kemampuan, berkooperatif sikapnya maka hendaknya
 
فَلْيَحْتَلْ

Hendaknya engkau merestui (menyetujui) pemindahan tagihan tersebut (transfer piutang) tersebut.

Kalau kita cermati dengan seksama hadits ini, konteksnya berbicara tentang hutang piutang dan kewajiban membayar hutang dan hukum yang berkaitan dengan tagihan piutang.

Sehingga secara sistematika mempersepsikan transfer piutang itu sebagai instrumen pembayaran hutang itu lebih sejalan (relevan) dengan konten hadits Sehingga hadits ini dari awalnya hingga akhirnya, satu nafas, satu makna, satu tema, yaitu berbicara tentang pembayaran dan pelunasan hutang-piutang.

Sedangkan الحوالة transfer piutang itu diklasifikasikan sebagai jual beli dianggap sebagai salah satu model jual beli, maka antara awal hadits dengan akhir haditsnya tidak berkesinambungan. Tentu ini kurang cocok tidak kuat.

Karenanya wallahu taala alam, pendapat yang lebih kuat adalah pendapat yang menyatakan bahwa الحوالة itu adalah salah satu instrumen pembayaran hutang piutang karena الحوالة adalah instrumen pembayaran hutang maka kita memahami kita dapat simpulkan bahwa الحوالة tentu lebih fleksibel (longgar) hukum-hukumnya dibanding jual beli.

Karena hutang piutang, pembayaran hutang piutang itu adalah salah satu bentuk akad sosial, bukan komersial. Dan para ulama telah menggariskan bahwa dalam akad-akad sosial ada fleksibilitas (kelonggaran) yang lebih luas (lapang) dibanding hukum-hukum yang berlaku pada akad jual beli.


Sehingga dengan demikian dapat disimpulkan bahwa mentransferkan piutang yang belum fix (belum jadi), piutang yang akan terjadi di masa yang akan datang atau piutang yang masih potensi batal, ditransfer kepada piutang yang sudah tetap secara hukum sah-sah saja, karena tidak ada larangan secara tegas ataupun secara mahfum, tidak ada larangan sama sekali. Padahal hukum asal dalam muamalah adalah halal sampai ada larangan.

Dalam praktek transfer piutang yang belum berkekuatan hukum atau bahkan belum terjadi dan akan terjadi kepada piutang yang sudah berkekuatan hukum (tetap) secara tinjauan dalil tidak ada alasan untuk melarang, hukum asalnya boleh.

Apalagi dengan transfer semacam ini ada maslahat yang besar bagi kedua belah pihak, ada kemudahan sehingga sejalan dengan anjuran-anjuran yang banyak dalam Al-quran ataupun hadits untuk menyegerakan pelunasan hutang.

Karena ini wallahu taala alam, pendapat yang lebih tepat, yang lebih kuat adalah pendapat yang menyatakan bahwa mentransferkan piutang yang belum berkekuatan hukum.

Sehingga kita katakan kepada calon pembeli ataupun penjual ataupun partner atau calon kreditur kita, berkesepakatan dengan mereka agar bila nanti anda berhutang kepada mereka maka mereka akan menagihkan piutangnya kepada pihak ketiga yang mereka telah berstatus sebagai debitur mereka, berhutang kepada anda senilai hutang yang akan anda ambil dari pihak kedua tadi, maka secara hukum tidak masalah.

Karena tidak ada larangan dalam hal ini, hukum asal dalam hal muamalah itu adalah halal.


Ini yang bisa kami sampaikan, kurang lebihnya mohon maaf.


وبالله التوفيق و الهداية
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•

Komentar