DI-0083 - Fiqih Muamalah Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja - Al-Hawalah (Transfer Hutang Piutang) Bagian Keenam
🌐 WAG Dirosah Islamiyah
Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad
▪🗓 KAMIS
| 05 Dzulhijjah 1442H
| 15 Juli 2021M
🎙 Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
📗 Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja
🔈 Audio ke-83
📖 Al-Hawalah (Transfer Hutang Piutang) Bagian Keenam
~•~•~•~•~
بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله، والصلاة و السلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه ومن والاه أمام بعد
Kaum muslimin dan muslimat peserta grup Dirosah Islamiyah yang semoga senantiasa dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Masih bersama untaian kata-kata yang dirangkaikan oleh Al-Imam Abu Syuja' rahimahullahu ta'ala dalam kitabnya Matan Al Ghayah Fil Ihtishor. Kita masih membahas tentang باب الحوالة bab penjelasan tentang transfer hutang piutang.
Kali ini beliau mengatakan,
Syarat keempat:
واتفاق مافي ذمة المحيل والمحال عليه في الجنس والنوع والحلول والتأجيل،
Syarat selanjutnya transfer hutang piutang itu dibolehkan bila hutang pertama dan hutang kedua itu sama, betul-betul sama: baik kadarnya, jatuh temponya, kemudian jenisnya, bentuknya, spesifikasinya ➟ betul-betul identik.
Sebagai contoh kalau anda memiliki piutang, atau si A memiliki piutang atas si C sebesar seratus juta rupiah dan kemudian si A berhutang kepada si B sebesar delapan ribu dollar Amerika.
Maka tidak boleh ada kesepakatan antara si A dan si B untuk mentransferkan piutang si B kepada si C, alias A tidak boleh dan si B juga tidak boleh untuk mengadakan kesepakatan agar piutang si A atau piutang si B ditagihkan kepada si C, kenapa? Ada perbedaan mata uang.
Atau kalau ada kasus (misalnya) hutang si A atas si C jatuh temponya satu bulan yang akan datang. Sedangkan hutang A kepada si B jatuh temponya dua bulan yang ada datang. Ada selisih tempo maka juga tidak boleh ada transfer hutang di sini.
Kenapa? Karena ini sama saja menyegerakan pembayaran alias si B mendapatkan keuntungan yaitu disegerakan pembayaran hutangnya. Karena hutangnya jatuh tempo dua bulan sedangkan hutang si C kepada si A jatuh temponya satu bulan, dan ini menurut madzhab Syafi'i adalah terlarang karena ini ada potensi riba, ada potensi keuntungan yang muncul.
Atau jenisnya berbeda, anda berhutang 1 kwintal beras dengan kriteria beras pandan wangi 1 kwintal, si C berhutang beras 1 kwintal pandan wangi kepada si A dan kemudian si A berhutang beras 1 kwintal atau seratus kilo kepada si B dari jenis beras rojolele. Ada beda kriteria, ada selisih mutu misalnya, spesies barang yang berbeda.
Maka dalam kasus macam ini menurut madzhab Syafi'i tidak boleh ada transfer.
Si A tidak berkata kepada si B, "Wahai si B, tagihkan piutangmu kepada si C seratus kilo beras".
Kenapa? Ada beda النوع, ada perbedaan jenis beras, varietas berasnya berbeda. Maka menurut madzhab syafi'i ini tidak boleh. Karena ini membawa keuntungan, potensi membawa keuntungan.
Namun wallahu ta'ala a'lam, pendapat yang lebih tepat berdasarkan sudut pandang bahwa hawalah itu adalah instrumen pembayaran hutang piutang, bukan jual beli, maka adanya selisih takaran, adanya beda jenis, itu tidak mengapa.
Karena hawalah hanyalah instrumen pembayaran, dan di saat pembayaran (pelunasan) hutang pihak kreditur berhak, dan legal (boleh) secara syar'i untuk memaafkan sebagian tagihan. Memberi piutang satu kwintal dia rela dibayar delapan puluh kilo saja. Tentu ini suatu hal yang terpuji.
Sebagaimana bila si A yang berhutang kepada si B, rela memberikan tambahan tanpa adanya syarat (kesepakatan) sebelumnya untuk melebihkan pembayaran.
Misalnya si A berhutang seratus juta kepada si B, kemudian ketika waktu jatuh tempo si A berkata kepada si B, "Wahai si B, tagihkan piutangmu kepada si C karena si C berhutang kepadaku seratus dua puluh juta".
Adanya selisih nominal semacam ini, bila itu tidak dipersyaratkan di awal akad hutang piutang, itu hanya keinginan sepihak dari si A (pihak debitur/pihak berhutang) maka tidak mengapa dan itu bukan riba.
Karena pada suatu hari ada seorang Arab (Arab Badui) datang kepada Nabi menagih hutang. Nabi pernah berhutang seekor unta muda kepada arab badui tersebut.
Ketika jatuh tempo si arab badui ini datang menagih, maka Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam memerintahkan Abu Rafi' radhiyallahu ta’ala ‘anhu (budak beliau) agar mencarikan onta yang sepadan (sama) dengan onta yang pernah dihutang oleh Nabi shallallahu'alaihi wa sallam.
Namun Abu Rafi' kembali dan mengatakan,
"Wahai Rasulullah setelah aku cari dari onta-onta yang kita miliki ternyata aku tidak menemukan onta kecuali onta yang خِيَارًا رَبَاعِيًا onta yang bagus dan umurnya sudah 4 tahun lebih, sedangkan engkau berhutang kepada lelaki ini بَكْرًا, onta yang baru berumur 2 tahun."
Tentu onta yang umur 4 tahun nilainya yang lebih besar, lebih tinggi dan badannya juga lebih gede dibanding onta yang berumur 2 tahun.
Maka Nabi shallallahu'alaihi wa sallam kemudian menyatakan kepada Abu Rofi’, "Berikan onta tersebut kepada Badui ini sebagai pembayaran (ganti) onta muda (onta betina muda) yang pernah saya hutang darinya"
"Karena di antara orang yang paling baik (orang yang paling terpuji) dari kalian adalah orang yang ketika membayar (melunasi) hutang dia melebihkannya.”
Dia memberi yang lebih baik dibanding yang pernah dia ambil, dibanding yang pernah dia hutang. Berdasarkan hadits ini kemudian para ulama menyatakan bahwa melebihkan ketika membayar hutang itu boleh selama tidak dipersyaratkan ketika terjadi akad hutang piutang.
Namun kelebihan itu muncul sebagai inisiatif sepihak dari pihak yang berhutang (debitur). Kenapa demikian? Karena memang kita semua telah memahami, kita juga merasakan bahwa di saat anda butuh untuk berhutang seringkali anda betul-betul merasa sedang terjepit.
Sehingga ketika ada orang yang menghutangi, anda merasa betul-betul tertolong. Orang tersebut menjadi pahlawan bagi anda, sehingga seringkali anda tergugah untuk membalas budinya.
Anda terinspirasi sabda Nabi shallallahu'alaihi wa sallam,
مَنْ صَنَعَ إِلَيْكُمْ مَعْرُوفًا فَكَافِئُوهُ
"Siapapun yang telah berbuat baik kepadamu, maka beri balasan dia.”
Seringkali betul-betul orang yang sudi menghutangi anda itu di mata anda (dipersepsikan) seorang pahlawan (orang yang baik) karena dia hadir di saat anda betul-betul butuh.
Sehingga ketika anda jatuh tempo memberikan atau melunasi piutangnya, seringkali anda tergugah untuk memberi lebih sebagai ucapan terima kasih, sebagai tali asih (imbalan) atas jasa dia yang telah memudahkan, memberikan kelapangan kepada anda di saat anda butuh.
Memberikan kelebihan di saat membayar hutang selama kelebihan itu tidak dipersyaratkan tidak dijanjikan di saat hutang piutang terjadi itu secara hukum boleh.
Oleh karena itu dalam hawalah, karena hawalah itu adalah instrumen pembayaran hutang tentu tidak tepat bila kita mengharuskan (mewajibkan) atau bahkan mempersyaratkan agar kedua piutang ini sama nominalnya, jatuh temponya sama, kadarnya sama, jenisnya sama tentu ini kurang tepat, karena ini bukan jual beli. Ini adalah instrumen pembayaran hutang.
Sehingga hukum-hukumnya tentu lebih fleksibel, ini yang lebih tepat.
Ini yang bisa kami sampaikan, kurang lebihnya mohon maaf.
وبالله التوفيق و الهداية
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
Komentar
Posting Komentar