DI-0086 - Fiqih Muamalah Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja - Al-Hawalah (Transfer Hutang Piutang) Bagian Kesembilan
🌐 WAG Dirosah Islamiyah
Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad
▪🗓 SELASA
| 17 Dzulhijjah 1442H
| 27 Juli 2021M
🎙 Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
📗 Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja
🔈 Audio ke-86
📖 Al-Hawalah (Transfer Hutang Piutang) Bagian Kesembilan
~•~•~•~•~
بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله، والصلاة و السلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه ومن والاه أمام بعد
Kaum muslimin dan muslimat peserta grup Dirosah Islamiyah yang semoga senantiasa dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Masih bersama untaian kata-kata yang dirangkaikan oleh Al-Imam Abu Syuja' rahimahullahu ta'ala dalam kitabnya Matan Al Ghayah Fil Al-Ihtishor.
Kita masih membahas tentang باب الحوالة bab penjelasan tentang transfer hutang piutang. Di antara kesimpulan yang juga bisa kita sarikan dari pernyataan mualif,
وتبرأ بها ذمة المحيل
Mualif dalam pernyataan ini tidak memberikan perincian lebih lanjut bahwa setelah terjadinya kesepakatan hawalah (transfer hutang piutang), maka pihak pertama (pihak debitur) yang berhutang setelah berhasil mengadakan kesepakatan dengan pihak kreditur agar kreditur menagihkan piutangnya kepada pihak ketiga.
Di sini tidak ada perincian lebih lanjut apakah kemudian pihak ketiga yang semula dia itu adalah pihak yang مَلِيٍّ (kondisi keuangannya bagus) atau dia kondisinya tidak bagus atau kondisinya bagus kemudian berubah menjadi pihak yang gagal bayar (potensi gagal bayar) atau keuangannya menjadi rusak. Tidak ada perincian lebih lanjut.
Alias apapun kondisinya setelah terjadi kesepakatan transfer hutang piutang berarti pihak kreditur tidak berhak lagi untuk menagihkan kepada debitur. Dia hanya berhak menagihkannya kepada pihak ketiga yang telah disepakati tersebut, tanpa ada beda apakah pihak ketiga itu kondisinya tetap mampu untuk melakukan pembayaran, kondisi keuangannya bagus dan dia tetap kooperatif melakukan pembayaran.
Atau ternyata pihak ketiga berubah kondisinya, yang semula kondisi keuangannya bagus berubah menjadi buruk, yang semula kooperatif dalam melakukan pembayaran ternyata menjadi tidak kooperatif, ngemplang, susah ditagih, molor-molor janjinya, mengingkari janji atau yang sering diistilahkan dengan wanprestasi.
Atau pun semula pihak kreditur mengira bahwa pihak ketiga ini adalah orang yang kondisi keuangannya baik ternyata dia salah duga, salah persepsi, salah perhitungan. Dianggap dia ternyata kondisi keuangannya bagus ternyata faktanya tidak demikian.
Mualif sama sekali tidak memberikan perincian, yang ini dapat kita pahami berarti apapun kondisinya setelah terjadi kesepakatan transfer hutang piutang antara kreditur dengan debitur, agar kreditur menagihkan piutangnya kepada pihak ketiga, setelah terjadi kesepakatan ini tidak ada lagi kata balik, tidak ada lagi kata pembatalan atau menyesal.
Kenapa? Karena konsekuensi dari hawalah kewajiban pihak debitur atau pihak pertama yang berhutang telah gugur dan kalau sudah dinyatakan gugur dianggap lunas, dianggap tanggung jawabnya itu telah bebas maka tidak bisa kembali menjadi tersibukkan dengan tagihan, tidak lagi bisa dikembalikan.
Sehingga yang semula telah bebas maka seterusnya bebas. Tidak bisa dikatakan semula bebas kemudian menjadi tidak bebas kembali. Ini pernyataan atau madzhab yang diajarkan dalam madzhab Al-Imam Syafi'i rahimahullah.
Pendapat Kedua ➟ Sebagian ulama memberikan satu perincian yang cukup moderat, mereka mengatakan, "Ada beberapa kondisi di mana kreditur berhak untuk menagih ulang debitur (pihak yang berhutang)".
Kondisi Pertama
Yaitu bila ternyata terbukti atau didapatkan indikasi kuat bukti-bukti yang meyakinkan bahwa debitur telah sengaja menjerumuskan, sengaja menipu, sengaja memperdaya kreditur.
Memaksakan menagihkan piutangnya kepada pihak ketiga. Dia itu orang yang finansialnya bagus, kooperatif. Dia itu misalnya selama ini terbukti orangnya baik, perilakunya bagus, sehingga pihak kreditur merasa yakin bahwa pihak ketiga ini demikian kondisinya. Namun ternyata tidak demikian.
Ternyata pihak debitur sengaja menipu kreditur. Maka dalam kondisi semacam ini karena terjadi penipuan terjadi kesengajaan atau yang disebut tadlis (manipulasi) maka dalam kondisi ini kreditur berhak menagihkan ulang piutangnya kepada debitur.
Karena debitur di sini telah berbuat wanprestasi, dia telah menipu, dia telah mengingkari janjinya, dia telah mengingkari komitmennya untuk mentransferkan hutangnya kepada pihak yang kooperatif, kondisi keuangannya baik ternyata tidak demikian, dan ini termasuk dalam perbuatan zhalim.
Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam telah bersabda,
ﻣَﻄْﻞُ ﺍﻟْﻐَﻨِﻰِّ ﻇُﻠْﻢٌ
Penundaan orang yang mampu itu adalah suatu kezhaliman. [HR. Mutafaq 'alaih]
Dan kalau itu ternyata kezhaliman berarti, tidak benar. Karena apalah artinya menunda langsung atau mentransferkannya kepada orang yang tidak kooperatif bahkan orang yang pailit. Hasilnya sama yaitu piutang kreditur tidak terbayarkan. Apalagi ada kezhaliman, pemalsuan atau dusta dan ini adalah satu kezhaliman jelas.
Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam juga telah bersabda,
لَيْسَ لِعِرْقٍ ظَالِمٍ حَقٌّ
Pelaku kedzaliman itu tidak punya hak.
Alias karena hadits ini bersifat umum, “dia tidak punya hak”, maka hak dinyatakan bebas tanggungan, dia tidak berhak karena dia ternyata menipu, karena dia sengaja memanipulasi berarti dia zhalim. Maka dia tidak mendapatkan hak untuk dinyatakan kondisi bebas dari tanggungan, ini kondisi pertama.
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menambahkan hidayah dan taufiknya kepada kita semuanya dan menjadikan ilmu yang kita pelajari ilmu yang nafi' (bermanfaat) untuk kemudian bisa kita amalkan dan kita ajarkan.
وبالله التوفيق و الهداية
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
Komentar
Posting Komentar