DI-0087 - Fiqih Muamalah Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja - Al-Hawalah (Transfer Hutang Piutang) Bagian Kesepuluh
🌐 WAG Dirosah Islamiyah
Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad
▪🗓 RABU
| 18 Dzulhijjah 1442H
| 28 Juli 2021M
🎙 Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
📗 Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja
🔈 Audio ke-87
📖 Al-Hawalah (Transfer Hutang Piutang) Bagian Kesepuluh
~•~•~•~•~
بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله، والصلاة و السلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه ومن والاه أمام بعد
Kaum muslimin dan muslimat peserta grup Dirosah Islamiyah yang semoga senantiasa dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Masih bersama untaian kata-kata yang dirangkaikan oleh Al-Imam Abu Syuja' rahimahullahu ta'ala dalam kitabnya Matan Al Ghayah Fil Al-Ihtishor.
Kita masih membahas tentang باب الحوالة bab penjelasan tentang transfer hutang piutang.
Kondisi kedua: ketika pihak kreditur salah persepsi (bukan sengaja) bukan karena kesengajaan dari debitur tetapi ada hal-hal yang di luar dugaan. Dia kira (pihak kreditur misalnya) mengira bahwa pihak ketiga ini jaraknya dekat, sehingga mudah untuk ditagih.
Ternyata dia salah, (salah nama misalnya) dia kira pihak ketiga ini adalah orang yang dekat rumahnya padahal ternyata jauh rumahnya untuk menagihnya yaitu butuh transportasi, butuh perjalanan yang jauh, sehingga pasti sangat merepotkan kreditur.
Dalam kondisi semacam ini ketika dia salah praduga, salah persepsi dan itu tanpa kesengajaan maka kondisi kedua ini boleh dia membatalkan kesepakatan hawalah.
Karena salah satu prinsip besar dalam hukum muamalah bahwa setiap muamalah dalam Islam haruslah dilakukan, dijalankan dengan dasar suka sama suka, harus ada unsur ترضى
Dan kalau ternyata pihak kreditur salah persepsi kemudian terbukti bahwa pihak ketiga tidak seperti yang dia duga, maka terbukti pula sejatinya pihak kedua atau yang disebut dengan kreditur sebetulnya dia tidak rela, tidak ridho dengan transfer piutang ini karena ternyata tidak seperti yang dia duga.
Kondisi ketiga: kalau ternyata pihak ketiga itu berubah kondisinya di saat kreditur belum sempat menagihkan terjadi kesepakatan transfer hutang piutang dengan asumsi bahwa pihak ketiga ini ( المحال عليه ) itu mampu untuk melakukan pembayaran.
Ternyata setelah terjadi kesepakatan ternyata pihak ketiga meninggal dunia, pihak ketiga pailit, rumahnya kebakaran, asetnya terkena banjir hanyut semua (misalnya). Sehingga dalam kondisi semacam ini tidak ada faktor kesengajaan dari pihak pertama dan juga tidak ada keteledoran dari pihak kedua tapi ini adalah faktor emergency, di luar kewenangan dan kuasa manusia.
Sehingga semula yang kedua belah pihak telah mencapai kesepakatan dengan asumsi pihak ketiga ini adalah pihak yang kooperatif, kondisi keuangannya bagus ternyata terbukti tidak sesuai dengan fakta. Walaupun tanpa ada kesengajaan dari kedua belah pihak, pihak kreditur ataupun pihak debitur.
Maka dalam kondisi semacam ini sebagian ulama mengatakan, "kreditur boleh mengurungkan (membatalkan) kesepakatan hawalah dengan konsekuensi berarti kreditur menagihkan kembali piutangnya kepada debitur (pihak pertama)".
Kenapa demikian?
Karena kesepakatan yang telah dicapai antara kedua belah pihak tersebut dibangun di atas satu persepsi yang terbukti salah. Dibangun di atas asumsi yang terbukti menyelisihi fakta.
Dalam kaidah ilmu fiqih dinyatakan,
لا عبرة بالظن البين خطؤه
Suatu praduga/satu asumsi/satu perkiraan yang terbukti menyelisihi fakta tidak sesuai dengan fakta yaitu la ‘ibroh (tidak layak) diperhitungkan, tidak layak dipedulikan alias diabaikan.
Karena itu diabaikan karena itu tidak diperhitungkan, maka tidak bisa dijadikan sebagai pondasi, dijadikan sebagai dasar membangun suatu kesepakatan atau satu akad.
Dengan demikian kesepakatan yang telah dicapai antara kedua belah pihak antara kreditur dan debitur, pihak yang berhutang dengan yang menghutangi karena kesepakatan ini, akad ini dibangun di atas asumsi yang ternyata salah, di atas praduga yang ternyata memyelisihi tidak sesuai dengan fakta, maka apapun yang dibangun, apapun turunan dari praduga tersebut juga harus diabaikan.
Pendek kata, ketika terjadi salah praduga, salah asumsi walaupun tentu itu tidak disengaja, kalau disengaja jelas seperti kondisi yang pertama. Kedua belah pihak tanpa mengetahui, tanpa sadar bahwa pihak ketiga telah meninggal atau pailit atau terkena musibah.
Maka dalam hal semacam ini pihak yang merasa dirugikan dan biasanya yang dirugikan adalah pihak kreditur (pihak yang menghutangi) berhak untuk membatalkan kesepakatan hawalah, menganulir kesepakatan yang telah dicapai.
Dan pembatalan ini tentu adalah dalam rangka untuk melindungi pihak kreditur yang akan menanggung kerugian, karena bila kesepakatan ini dilanjutkan maka berarti pihak kreditur dirugikan. Padahal ada satu poin penting yang perlu diingat selalu dalam kasus hutang piutang.
Pihak kreditur itu adalah pihak yang telah berbuat baik, mengulurkan tangannya, memberikan jasanya. Biasanya pihak kreditur itu adalah orang yang menolong, pihak yang meringankan kesusahan debitur, tentu orang yang telah berbuat baik, berjasa semacam ini, menunda tagihan, memberikan kelapangan, melakukan penjualan dengan skema pembayaran berjangka.
Ini semua adalah orang yang baik. Orang yang berbuat jasa, tentu orang semacam ini tidak boleh dibalas kebaikannya dengan kejelekan. Tidak layak kita membalas air susu dengan air tuba,
ما على المحسنين أمين سبق
Tidak ada alasan tidak ada celah sedikitpun untuk menyakiti apalagi menghukumi apalagi mendzalimi orang yang berbuat baik.
Sampai-sampai Nabi shallallahu'alaihi wa sallam menjelaskan tentang keutamaan memberi hutang kepada orang lain atau menghutangi orang lain atau memberi piutang kepada orang lain.
Nabi bersabda,
من أقرض درهما مرتين كان كصدقته مرة
Siapapun yang menghutangkan satu dirham dua kali, hari ini menghutangkan satu dirham besok dibayar, menghutangkan lagi satu dirham kemudian dibayar kembali, walaupun uangnya kembali tetapi dia telah mendapatkan, Allah subhanahu wa ta’ala telah mencatatnya sebagai sedekah dua kali.
Kenapa demikian?
Perlu dipahami bahwa dalam konsep islam, yang namanya harta itu terdiri dua unsur :
• Fisik barang (ain)
• Kegunaan barang (manfaah)
Ketika secara fisik dirham itu digunakan, dibelanjakan dan kemudian dikembalikan lagi dibayar lagi, kemudian dihutangkan, digunakan belanja oleh orang yang berhutang kemudian dikembalikan lagi berarti ada dua kali, dua kasus di mana dalam dua waktu ini manfaat dari uang yang dimiliki diberikan kepada orang lain maka ini senilai dengan mensedekahkan satu dirham sekali.
Dari pertimbangan inilah yang kemudian sebagian ulama mengatakan bahwa, "kalau ternyata kesepakatan hawalah itu dibangun di atas praduga yang tidak nyata, menyelisihi fakta, dikira pihak ketiga ini finansialnya baik, kondisi ekonominya bagus, ternyata telah berubah.
Pailit terkena musibah maka dalam kondisi semacam ini karena kesepakatan hawalah dibangun di atas praduga yang tidak nyata, maka pihak kreditur berhak secara hukum untuk menagihkan piutangnya kepada debitur kembali, menagihkan kembali piutangnya kepada pihak debitur.
Karena pihak ketiga yang disebut المحال عليه ini ternyata terbukti tidak mampu untuk melakukan pembayaran.
Ini beberapa hukum dari akad hawalah dan ini mengakhiri pembahasan kita pada kesempatan yang berbahagia ini.
Semoga Allah Subhanahu wa ta’ala menambahkan hidayah dan taufiknya kepada kita semuanya dan menjadikan ilmu yang kita pelajari menjadi ilmu yang nafi' (bermanfaat) untuk kemudian bisa kita amalkan dan kita ajarkan.
وبالله التوفيق و الهداية
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
Komentar
Posting Komentar