DI-0089 - Fiqih Muamalah Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja - Adh-Dhoman (Penjaminan Hutang) Bagian Kedua

 🌐 WAG Dirosah Islamiyah
Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad

▪🗓 JUM’AT
 | 20 Dzulhijjah 1442H
 | 30 Juli 2021M

🎙 Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
📗 Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja

🔈 Audio ke-89
📖 Adh-Dhoman (Penjaminan Hutang) Bagian Kedua

~•~•~•~•~

بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله، والصلاة و السلام على رسول الله  وعلى آله وأصحابه ومن والاه أمام بعد

Kaum muslimin dan muslimat peserta grup Dirosah Islamiyah yang semoga senantiasa dirahmati oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Masih bersama rangkaian kata-kata yang termaktub dalam matan Al-Ghayyah fi Al-Ikhtishar buah karya Syaikh Imam Abu Syuja'  rahimahullahu ta'ala.

Pada kesempatan ini kita sampai pada bab Adh-Dhoman (الضمان) penjaminan utang.

Secara tinjauan dalil para ulama telah bersepakat bahwa mendatangkan penjamin hutang atau meminta penjamin hutang secara hukum asalnya adalah boleh dan sah-sah saja.

Karena ini tercakup dalam bentuk muamalah, interaksi sesama manusia, sehingga secara hukum asalnya boleh.


الأصل في المعاملات الحل

Hukum asal muamalah adalah halal.

Namun tentu dalam akad penjaminan hutang ada tiga pihak terlibat:
- Pihak Pertama adalah kreditur yang menghutangi.
- Pihak Kedua adalah debitur yang berhutang dan
- Pihak Ketiga adalah pihak penjamin hutang

Tentu hukumnya berbeda-beda. Hukum tindakan mereka, kreditur memberikan hutang dan mempersyaratkan untuk meminta adanya penjamin hutang, itu secara hukum adalah halal, dan bahkan itu sangat dianjurkan untuk memproteksi haknya agar tidak hilang.

Kemudian yang kedua dari sisi yang berhutang atau yang disebut debitur juga sangat dianjurkan, disunnahkan (bukan wajib), disunnahkan untuk membuat alat bukti dan memberikan kepastian bahwa dia mampu melakukan pembayaran.

Baik dengan hartanya sendiri, atau dengan jaminan yang dia berikan, atau dengan kehadiran pihak ketiga yang rela memberikan jaminan kepada dirinya, atau menjamin dirinya ketika dia melakukan transaksi.

Sehingga berbagai dalil yang berkaitan dengan anjuran membuat alat bukti ketika bertransaksi, ayat yang berbicara tentang sunnahnya menulis, sunnahnya mendatangkan jaminan, atau sunnahnya mendatangkan saksi dalam akad hutang piutang atau yang lainnya.

Itu juga dapat dijadikan sebagai dalil tentang disyariatkannya melakukan penjaminan hutang atau meminta adanya penjamin hutang.

Namun dari sisi ketiga dari sisi pihak yang memberikan jaminan, apakah ketika anda diminta oleh saudara, kawan, tetangga, kerabat, untuk menjamin hutang yang mereka lakukan.

Ketika ada saudara anda berhutang baik kepada bank ataupun kepada perorangan atau ke perusahaan, kemudian saudara tersebut meminta kepada anda, "Tolong anda berikan untuk menjamin (menjadi pihak penjamin hutang) saya, sehingga kalau saya gagal bayar anda akan membayarkan (menalangi) terlebih dahulu".

Para ulama berbeda pendapat, sebagian mengatakan bahwa menjadi penjamin  hutang itu hukumnya sunnah, karena ini termasuk bentuk dari menolong saudara kita.


وَ اللهُ فِيْ عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِيْ عَوْنِ أَخِيْهِ

“Allāh akan senantiasa menolong anda selama anda menolong saudara anda.“
[HR Muslim]

Betapa banyak orang yang butuh dalam kondisi terjepit, dalam kondisi kekurangan finansial, ingin berhutang, ingin membeli dengan pembayaran berjangka, namun mereka mendapatkan kesusahan.

Banyak lembaga keuangan ataupun perorangan ataupun perusahaan, atau badan usaha yang tidak siap karena tidak kenal, tidak mau memberikan pinjaman kecuali adanya pihak ketiga yang mau menyatakan siap menjamin hutang tersebut.

Ini persepsi (pendapat) pertama yang mengatakan bahwa penjaminan hutang itu adalah bentuk sosial (tolong-menolong). Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam juga bersabda,


« مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، » رواه مسلم

Siapapun yang memberikan solusi, memberikan kemudahan bagi kesusahan yang menimpa saudaramu, menimpa seorang muslim, seorang mukmin niscaya,


نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ

Allah akan lapangkan, Allah akan bebaskan dia dari kesusahan yang menimpa dirinya kelak pada hari kiamat.

Dan tentu kita semua sadar, kehadiran penjamin hutang itu seringkali menjadi solusi, menjadi kunci terselesaikannya masalah yang sedang melilit sebagian orang.

Tentu ini sangat dianjurkan namun sebagian ulama lain, berbicara lebih realistis, berpendapat lebih realistis. Hendaknya anda tidak bermudah-mudahan menjamin hutang orang lain, kecuali bila:

Kondisi Pertama

Orang yang akan berhutang tersebut betul-betul orang yang beriktikad baik, kooperatif, bersungguh-sungguh ingin melunasi, ingin menyelesaikan tanggungannya dan mereka berhutang dalam batas yang wajar, sesuai dengan kapasitas dan kemampuannya.

Namun bila ternyata orang yang mau berhutang (debitur) tersebut ternyata besar pasak daripada tiang, sehingga ia mengambil hutang yang besar, padahal penghasilannya secara tradisi tidak akan mungkin bisa digunakan untuk melunasi hutang tersebut.

Atau dia berhutang untuk hal-hal yang tidak perlu, foya-foya, apalagi untuk melakukan suatu hal yang haram, berjudi misalnya. Atau bahkan ada indikasi-indikasi yang menunjukkan bahwa orang tersebut dari semula sudah merencanakan niat buruk.

Atau bahkan mungkin terbukti berkali-kali terbukti ngemplang (sengaja) tidak ada iktikad baik untuk melakukan pelunasan hutang.

Maka dalam kondisi semacam ini tidak sepatutnya anda mencelakakan diri sendiri demi kebutuhan orang lain. Apalagi kalau ternyata kehadiran anda menyebabkan orang tersebut pihak debitur mendapatkan sarana, mendapatkan kemudahan untuk kembali melakukan perbuatan yang haram.

Apalagi bila ternyata akadnya, akad hutang piutangnya tersebut diiringi dengan praktek-praktek riba. Sebagaimana yang merajalela di perbankan atau di praktek masyarakat yang masih doyan dengan riba.

Menghutangi satu juta, kembali satu juta dua ratus, telat satu bulan bertambah sepuluh ribu dan seterusnya. Anda tidak boleh menjamin hutang yang ada unsur ribanya, karena bila anda lakukan maka anda terjerumus dalam,


تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
 

Tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan perbuatan maksiat.

Dan kalau prakteknya hutang piutang itu mengandung riba maka anda pun termasuk bagian dari orang-orang yang terlaknat.


لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ

Rasulullah Shallallahu 'Alayhi Wa Sallam melaknat riba, yang memakannya, yang memungutnya, yang memberinya, yang menjadi juru tulisnya, yang menjadi saksinya.


Para ulama menjelaskan bahwa keempat jenis orang disebutkan karena merekalah yang paling banyak berkontribusi dalam praktek hutang piutang yang berbunga (riba).

Bukan hanya mereka yang terkena laknat karena mereka mengambil benang merah dari keempat orang ini, yaitu adanya kontribusi langsung dalam praktek riba. Sehingga siapapun yang berkontribusi langsung dalam praktek riba sebagai juru tulisnya, sebagai saksinya, atau bahkan anda menjadi penjamin hutangnya, maka anda pun turut terkena laknat dari Allah Azza wa Jalla.

Sehingga dalam kondisi ini anda tidak dibolehkan untuk menjamin hutang tersebut, bahkan anda haram hukumnya menjamin hutang yang untuk hal yang haram atau hutang yang mengandung unsur riba.

Kondisi kedua

Sebagian ulama berpendapat hukum menjamin hutang tidak serta merta semuanya bersifat mutlak sunnah. Ada beberapa kondisi yang bahkan haram. Seperti kondisi pertama.

Kondisi yang kedua yang terlarang kita menjadi penjamin hutang adalah bila kita menyadari diri, kita harus bercermin bahwa kalau pihak debitur nanti gagal bayar, saya sendiri juga tidak mampu bayar.

Maka dalam kondisi semacam ini kalau ternyata secara finansial kita sendiri sebetulnya tidak mampu, kalau ternyata nanti debitur gagal bayar maka yang akan disita adalah rumah kita, yang akan dipanggil pengadilan dan dipaksa oleh pengadilan untuk melakukan pembayaran kita (misalnya).

Atau bisa melakukan pembayaran namun berdampak sangat buruk bagi keluarga kita akhirnya uang belanja istri, biaya sekolah anak, biaya kontrakan dan lain sebagainya tersedot untuk apa? untuk melunasi hutang orang lain.

Bila hutang tersebut menjadi penjamin hutang anda tidak mampu kecuali dengan menimbulkan resiko negatif pada keluarga anda, maka dalam kondisi semacam ini anda terlarang (dilarang) untuk menerima permintaan menjadi penjamin hutang.

Kenapa? Karena siapapun dia yang berhutang itu adalah pihak ketiga (orang lain). Kalau ternyata anda menolong orang lain, namun pertolongan ini menyebabkan keluarga dekat anda, istri anda, anak anda, orang tua anda terlantar, terhalangi mendapatkan haknya, terkurangi nafkahnya, maka anda justru malah berdosa bukan malah mendapat pahala.

Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bersabda,


كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوتُ

“Cukup sebagai dosa besar bila anda itu telah menelantarkan nafkah orang-orang yang menjadi tanggungan anda.” [HR Abu Daud]

Karena itu tidak boleh anda menolong orang lain namun mencelakakan keluarga sendiri.

Dan wallahu ta’ala alam. Pendapat kedua inilah yang lebih kuat secara dalil, yaitu menjamin hutang itu bukan suatu hal yang dianjurkan dalam semua kondisi, tetapi anda harus bercermin:

1. Apakah anda mampu ketika nanti misalnya harus melakukan pembayaran.
2. Apakah hutang piutang tersebut hutang piutang yang halal atau haram. Untuk kebutuhan yang halal atau kebutuhan yang haram.

Sehingga anda harus pilah-pilah tidak serta merta kita katakan menolong orang susah membantu orang yang sedang terjepit, meringankan beban seseorang. TIDAK!! Anda harus proporsional.

Ini yang bisa kami sampaikan pada kesempatan kali ini kurang dan lebihnya mohon maaf


بالله التوفيق و الهداية
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•

Komentar