DI-0091 - Fiqih Muamalah Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja - Adh-Dhoman (Penjaminan Hutang) Bagian Keempat

 🌐 WAG Dirosah Islamiyah
Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad

▪🗓 SELASA
 | 24 Dzulhijjah 1442H
 | 03 Agustus 2021M

🎙 Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
📗 Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja

🔈 Audio ke-91
📖 Adh-Dhoman (Penjaminan Hutang) Bagian Keempat

~•~•~•~•~

بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله، والصلاة و السلام على رسول الله  وعلى آله وأصحابه ومن والاه أمام بعد


Kaum muslimin dan muslimat peserta grup Dirosah Islamiyyah yang semoga senantiasa dirahmati oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Alhamdulillah pada kesempatan kali ini kita masih bersama dengan anda untuk bersama-sama tafaquh fiidiinillah, mengkaji agama Allāh Subhānahu wa Ta'āla dengan media kitab Matan Al-Ghayyah fi Al-Ikhtishar buah karya Syaikh Imam Abu Syuja'  rahimahullahu ta'ala.

Kita masih dalam pembahasan Adh-Dhoman (الضمان) penjaminan utang. Di awal pembahasan ini imam Abu Syuja rahimahulahu ta’ala  mengatakan:


ويصح ضمان الديون المستقرة في الذمة إذا علم قدرها

Sah untuk memberikan jaminan pada الديون المستقرة utang-utang yang mustaqirah (مستقرة) yang telah berkekuatan hukum (yang telah tetap) tidak mungkin lagi batal.

Betul-betul utang-piutang yang sudah tetap إذا علم قدرها bila nominal utangnya itu diketahui. Dengan demikian pernyataan muallif ini (Imam Abu Syuja) memberikan dua syarat untuk sahnya suatu penjaminan utang.

⑴ Utangnya telah tetap
⑵ Nominalnya jelas.

Bila satu dari kedua syarat ini tidak terpenuhi maka secara mafhum mukhalif/secara analoginya, maka penjaminan utang itu batal alias tidak sah. Karena di sini Al-Muallif mengatakan ويصح dan sah. Sedangkan lawan dari kata sah artinya bathil, tidak sah.

Dan secara terminologi definisi sah dan tidak sah dalam ilmu fiqih atau ushul fiqih, suatu permasalahan dikatakan sah bila permasalahan tersebut dilakukan dengan memenuhi syarat rukunnya sehingga menghasilkan konsekuensi hukum yang sesuai, seperti misalnya pernikahan.

(Pernikahan) dikatakan sah bila syarat rukunnya terpenuhi sehingga konsekuensi hukumnya terpenuhi atau terwujud. Sehingga suami istri halal untuk berhubungan, saling mewarisi dan seterusnya.

Namun suatu hukum dikatakan tidak sah bila salah satu syarat atau rukun tidak terpenuhi, maka arti dari suatu hukum, suatu masalah dikatakan tidak sah alias walaupun itu dipaksakan. Walaupun satu tindakan itu dipaksakan untuk dilakukan tetapi secara tinjauan hukum syariat tidak menghasilkan konsekuensi hukum yang semestinya.  

Sehingga walaupun ada pernikahan, "Saya nikahkan engkau dengan putriku dan seterusnya",  "Saya terima.", namun salah satu syaratnya tidak terpenuhi maka semua itu sia-sia. Tidak menghasilkan konsekuensi hukum sehingga tidak ada pernikahan di antara mereka. Mereka tidak boleh berhubungan dan seterusnya.

Transaksi jual-beli misalnya, ketika dikatakan tidak sah, berarti barang tetap milik dari penjual, uang tetap milik dari pembeli, tidak menjadikan kedua barang (barang dan harga) itu berpindah kepemilikan. Ini arti dari kata sah dan tidak sah.

Sehingga ketika muallif mengatakan:


ويصح ضمان الديون المستقرة

"Sah menjamin utang yang telah tetap selama nominalnya jelas.”

Mafhum mukhalifnya, analoginya bila satu dari kedua syarat ini tidak terpenuhi, maka walaupun sudah ada komitmen, ada ijab dan qabul, saya jamin utang yang akan engkau berikan kepada fulan, dalam kasus ini utangnya belum tetap.

Karena utang baru akan diberikan pada waktu yang akan datang alias saat kesepakatan penjamin ini belum ada utang-piutang maka itu sia-sia (tidak sah), sehingga tidak memiliki konsekuensi hukum apapun dari kesepakatan ini, atau sering diistilahkan dalam ilmu hukum dengan kata-kata batal demi hukum.

Karena itu Al-Muallif rahimahullah ta'ala mengatakan;


ولصاحب الحق مطالبة من شاء من الضامن والمضمون عنه إذا كان الضمان على ما بينا

Dan bila suatu kesepakatan suatu akad penjaminan utang telah memenuhi dua syarat tadi. Utangnya telah tetap kemudian nominalnya juga jelas maka pihak kreditur (pihak yang memberikan piutang) boleh menagih keduanya. Siapapun yang dia suka.

Karena itu beliau mengatakan:


ولصاحب الحق مطالبة من شاء

Pihak kreditur berhak menagih debitur ataupun penjaminnya.

Kenapa? Karena kedua pihak tersebut penjamin dan yang berutang (penjamin dan debitur) telah terjadi kesepakatan untuk melebur menjadi satu pihak. Saling mewakili sehingga yang berutang dia ditagih karena memang dia yang berutang.

Sedangkan penjamin dia boleh ditagih dikarenakan dia telah berkomitmen menyatakan untuk bersatu menjadi satu pihak dengan debitur. Karena itu pihak kreditur yang mengutangi boleh menagih siapapun dari keduanya, walau tanpa alasan.

Dalam arti walaupun kreditur bisa menagih debitur, yang mengutangi bisa menagih yang diutangi, tetapi dia lebih suka untuk menagih penjaminnya, maka silahkan, itu boleh.

Apalagi bila ada hambatan-hambatan yang menyebabkan pihak kreditur yang mengutangi mendapatkan kesusahan untuk menagih debitur (yang diutangi). Kalaupun tidak ada hambatan namun karena faktor suka-suka saja maka boleh menagih siapapun yang dia mau.

Alasannya tadi sudah disampaikan, bahwa karena sudah ada penjaminan hutang, pihak penjamin telah berkomitmen untuk menyatu dengan debitur yang berutang. Sehingga sama saja menagih yang berutang ataupun menagih penjaminnya. Boleh dua-duanya.

Ini pendapat yang diajarkan dalam madzhab Imam Asy-Syafī'i rahimahullahu ta'ala, alasan dari pendapat Imam Asy-Syafī'i  ini seperti yang diutarakan di atas karena Adh-Dhoman (الضمان) itu diambil dari kata Adh-Dhomm (الضَمَّ) yaitu bersatu, bergabung, melebur.  

Dengan demikian yang semula ada dua pihak penjamin dan yang dijamin. Namun dengan adanya kesepakatan penjaminan utang ini, kedua orang ini menjadi satu pihak (melebur menjadi satu pihak). Ini alasan yang diutarakan Al-Imam Asy-Syafī'i dan juga ulama lain yang sependapat dengan beliau.

Namun pendapat kedua, sebagian ulama berpendapat bahwa kreditur yang mengutangi tidak boleh menagih penjamin kecuali bila ada hambatan, ada halangan yang menyebabkan dia tidak mampu tidak bisa menagihkan utangnya kepada pihak yang berutang (debitur). Baik karena debiturnya pailit atau debitnya ingkar janji, menunda-nunda, tidak kooperatif atau mungkin dia safar, pergi jauh tidak jelas kemana juntrungnya

Maka dalam kondisi seperti ini, baru dia boleh menagihkan Penjamin, karena dalam kasus penjaminan utang di sini ada al-Ashl dan al-Far’u, ada pihak utama dan pihak sekunder.

Primer, pihak primer yang dia memang yang berkewajiban membayar utang dan dia yang berutang dan ada pihak kedua (pendukung) atau yang disebut dengan Far’ (فَرْع), yaitu penjamin utang.

Membolehkan menagih keduanya itu sama saja menggabungkan antara Al-Ashl dan Al-Badl, Al-Badl dengan Al-Mubdal, menggabungkan antara primer dan sekunder.


Menjadikan satu sehingga tidak ada lagi primer tidak ada lagi sekunder. Tidak ada Ashl, tidak ada mubdal tidak ada badal, tentu ini tidak sejalan dengan arti dan hakikat dari Al-Badaliyyah atau yang juga disebutkan dengan Adh-Dhomman.

Karena tujuan adanya akad dhomman itu hanya sebagai pelengkap dan dhomman itu diklasifikasikan sejenis dengan gadai (barang gadai) yang tujuan utamanya adalah untuk memberikan jaminan ketenangan kepada kreditur bahwa hak dia akan terbayarkan.

Sebagaimana barang gadai tidak bisa dilelang tidak bisa diakuisisi oleh kreditur kecuali bila debitur yang berutang itu tidak kooperatif atau gagal bayar, maka tentu penjamin lebih layak untuk tidak ditagih kecuali yang berutang atau debitur mengalami gagal bayar atau terkendala tidak bisa ditagih. Misalnya karena mati atau menghilang dan seterusnya.

Di sisi lain barang gadai yang secara kepemilikan itu adalah milik debitur itu saja tidak boleh langsung dieksekusi untuk melunasi utang, apalagi pihak lain yaitu pihak penjamin yaitu merupakan orang asing sebetulnya.

Hanya saja terlibat dalam kasus utang-piutang ini karena adanya komitmen adanya kesepakatan akad, yaitu akad penjaminan utang maka dia lebih layak untuk tidak ditagih untuk tidak dieksekusi dengan cara menagih, kecuali bila ada hambatan untuk menagihkan utang kepada pihak debitur. Ini pendapat kedua.

Dan wallahu ta'ala a'lam pendapat kedua ini secara tinjauan teoritis lebih kuat dan lebih dekat kepada filosofi arti dan substansi dari adanya dhomman yang tujuan utamanya adalah memberikan jaminan bukan merupakan instrumen pembayaran utang. Itu hanya tujuan utama yang telah memberikan kepastian bahwa piutang kreditur itu dapat terbayarkan pada waktunya

Ini yang bisa kami sampaikan pada kesempatan kali ini  kurang lebihnya mohon maaf.


وبالله التوفيق و الهداية
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•

Komentar