DI-0095 - Fiqih Muamalah Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja - Adh-Dhoman (Penjaminan Hutang) Bagian Kedelapan

 🌐 WAG Dirosah Islamiyah
Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad

▪🗓 SENIN
 | 30 Dzulhijjah 1442H
 | 09 Agustus 2021M

🎙 Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
📗 Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja

🔈 Audio ke-95
📖 Adh-Dhoman (Penjaminan Hutang) Bagian Kedelapan

~•~•~•~•~

بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله، والصلاة و السلام على رسول الله  وعلى آله وأصحابه ومن والاه أمام بعد


Kaum muslimin dan muslimat peserta grup Dirosah Islamiyyah yang semoga senantiasa dirahmati oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Masih bersama kitab Matan Al-Ghayyah fi Al-Ikhtishar buah karya Syaikh Imam Abu Syuja' rahimahullahu ta'ala. Dalam bab Adh-Dhoman (penjaminan utang) beliau mengatakan:


ولا ما لم يجب إلا درك المبيع

Sebagaimana tidak boleh menurut madzhab Asy-Syafī’i, tidak boleh menjamin utang yang belum berketetapan hukum, kecuali درك المبيع yaitu kalau seorang menjual barang kepada pembeli, kemudian pembeli merasa khawatir kalau-kalau barang yang dia beli ini adalah barang milik orang lain, bukan miliknya penjual.

Sehingga dia khawatir kalau itu dibeli, suatu hari muncul pemilik yang sah, sehingga akan digugat dan akhirnya dia akan kehilangan uang dan barangnya akan dieksekusi oleh pemiliknya yang sah.

Dalam kondisi semacam ini, adanya kekhawatiran ini, seringkali pembeli menuntut kepada penjual, agar penjual mengajukan memberikan jaminan mendatangkan pihak ketiga yang memberikan jaminan. Bahwa pihak ketiga sanggup menanggung kerugian, sanggup mengganti rugi, mengembalikan dana pembeli bila ternyata barang yang dia beli itu ternyata bukan milik penjual.

Ini yang disebut dengan درك المبيع

Walaupun gugatan dari pembeli ini belum tentu terjadi, bahkan bisa jadi tidak akan pernah terjadi karena memang barang yang dijual-belikan itu adalah betul-betul sah milik penjual, tidak terjadi sengketa. Namun demi kemaslahatan umum apalagi di zaman dahulu anda bisa bayangkan!

Di zaman dahulu status kepemilikan barang itu belum seperti zaman sekarang. Kepemilikan barang zaman sekarang sering kali didukung oleh dokumen (dokumen kepemilikan barang), sertifikat tanah, surat kepemilikan kendaraan (BPKB) misalnya Bukti Kepemilikan Kendaraan, atau IMB (izin mendirikan  bangunan), atau yang lainnya, sertifikat atau yang lainnya.

Tapi di zaman dahulu sering kali kepemilikan barang hanya dibuktikan dengan hal yang sederhana, yaitu barang itu berada dimilikinya secara bertahun-tahun atau dalam waktu yang lama, atau barang itu sekedar ada di tangannya. Namun tidak ada bukti yang tertulis, atau barangkali maksimal mungkin hanya saksi.

Persaksian segelintir orang, yang mempersaksikan bahwa barang yang diperjual-belikan itu adalah betul-betul milik penjual. Sehingga potensi terjadinya gugatan dikemudian hari, potensi terjadinya klaim dikemudian hari, bahwa barang itu milik pihak ketiga, itu sangat mungkin terjadi.

Maka adanya urgensi, adanya haajah, adanya kebutuhan yang bersifat umum semacam ini kemudian menjadikan para ulama termasuk ulama yang menganut madzhab Asy-Syafī'i, mereka memberikan satu pengecualian bahwa menjamin sesuatu yang belum pasti itu hukum asalnya tidak boleh, kecuali dalam kasus semacam ini.

Apa alasannya? Karena ini adalah sebuah kondisi yang merata, kondisi yang menimpa banyak orang, adanya haajah.

Padahal dalam satu kaidah menyatakan:


الحاجة تُنَزَّل منزلة الضرورة

Adanya urgensi, adanya kebutuhan yang bersifat umum (betul-betul kebutuhan itu valid, kebutuhan itu nyata), maka kebutuhan itu diperlakukan bagaikan satu kondisi darurat. Sehingga dapat menjadi alasan dibolehkannya sesuatu yang semula terlarang.

Seperti halnya melihat wanita non mahram, itu hukum asalnya haram. Anda melihat wanita non mahram itu hukum asalnya haram.

Namun karena ada haajah ada keperluan untuk pengenalan calon mempelai (calon pengantin), calon istri, maka islam membolehkan calon pengantin laki-laki untuk terlebih dahulu memandang melihat atau yang disebut dengan nadhar untuk melihat calon istrinya. Agar tidak ada penyesalan di kemudian hari.

Agar ketika dia menikah, betul-betul telah mengetahui wanita yang akan dinikahi, walaupun semula hukum melihat wanita yang non mahram (bukan mahram) itu haram, tapi karena adanya satu keperluan yang nyata maka keperluan yang nyata ini kemudian menjadi alasan untuk dibolehkannya bagi calon suami untuk melihat calon istrinya sebelum terjadi akad.

Demikian pula seorang thabib (dokter) yang harus mengobati seorang pasien, di mana pasien tersebut lawan jenis (wanita) atau sebaliknya pria. Karena tidak ada tenaga medis yang lain yang sama jenis dengan pasien sedangkan pasien membutuhkan bantuan.

Seperti misalnya anda menyaksikan di pinggir jalan atau di jalan, satu kondisi kecelakaan. Anda seorang tenaga medis, pasien ini membutuhkan pertolongan, kalau tidak dia akan mengalami kesakitan, dia akan segera membutuhkan pertolongan kalau tidak, dia akan celaka, dia akan sengsara, padahal dia lawan jenis,

Maka dalam kondisi semacam ini tidak sepatutnya anda menunggu. Tunggu sampai datang tenaga medis yang sama jenis, laki sama laki, perempuan sama perempuan, tidak boleh.

Anda boleh, anda segera oleh menolong, walaupun dia lawan jenis kalau memang kondisinya betul-betul menuntut untuk anda melakukan satu tindakan.

Ada orang tenggelam anda dituntut memberikan pertolongan, kalau tidak orang yang tenggelam ini akan segera mati karena kehabisan pernafasan, membutuhkan bantuan pernafasan lewat mulut (misalnya) sedangkan dia lawan jenis. Ini kondisi darurat.

Kondisi darurat semacam ini, menjadikan suatu yang semula terlarang menjadi halal, demikian pula kondisi yang walaupun itu tidak se-emergency, sedarurat, segenting kondisi darurat namun itu kondisi yang nyata. Apalagi itu menimpa banyak orang yang disebut dengan haajah, kemaslahatan umum.

Maka para ulama menyatakan:


الحاجة تنزل منزلة الضرورة

Adanya suatu kebutuhan (urgensi) untuk melakukan suatu tindakan yang semula itu terlarang namun karena kebutuhan ini nyata (real) fakta dan menimpa banyak orang, maka walaupun itu bukan kondisi emergency, namun semula yang terlarang itu dibolehkan.

Terlebih larangan tersebut bersifat preventif larangan yang tujuannya untuk mencegah terjadinya sesuatu yang negatif.

Dan telah disampaikan bahwa menjamin utang yang tidak jelas nominalnya ini menurut madzhab Asy-Syafī'i dilarang, bukan karena ini sesuatu yang dilarang pada dzatnya, tidak. Tetapi ini suatu tindakan yang berpotensi menimbulkan sengketa.

Sehingga larangan ini bersifat preventif, maka larangan yang bersifat preventif ini dapat terkalahkan diabaikan bila ada satu haajah yang nyata. Betul-betul nyata bukan rekayasa. Sehingga, karena ini satu kebutuhan yang nyata maka tidak bijak bila kita tetap mempertahankan sikap preventif.

Karena itu wallahu ta'ala a'lam, pendapat yang lebih kuat adalah bolehnya menjamin utang yang belum jelas nominalnya termasuk menjamin barang yang diperjual-belikan. Kalau-kalau ada kekhawatiran, kalau-kalau barang yang diperjual-belikan itu ternyata bukan milik penjual.

Ini yang dimaksud dengan درك المبيع.

Ini yang menjadikan fuqaha Asy-Syafī'iyyah, para ahli fiqih dalam madzhab Syafī'i, kemudian mengecualikan kondisi ini, karena adanya haajah mereka mengakui bahwa masyarakat membutuhkan adanya kepastian hukum, kekhawatiran adanya penipuan adanya tindakan yang tidak terhormat dari penjual yang menjual barang milik orang. Ini nyata.

sehingga masyarakat butuh adanya kepastian jaminan kalau ternyata penjual menipu, menjual barang bukan miliknya, maka ada pihak ketiga yang siap menanggung kerugiannya. Sehingga di sini ketika ada pihak ketiga yang menjamin, maka pembeli akan merasa tenang, tidak khawatir dengan kelanjutan dari transaksinya.

Ini menjadikan para fuqaha Asy-Syafī'iyyah kemudian mengecualikan kondisi ini, karena mereka mengakomodir adanya haajah, adanya kebutuhan masyarakat akan kepastian hukum dalam transaksi jual-beli.

Namun sekali lagi, menjamin utang itu adalah akad sosial dan hukum asal transaksi itu adalah halal selama tidak ada dalil yang dengan tegas melarang penjaminan tersebut.

Apalagi apa yang diutarakan oleh para fuqaha Asy-Syafī'iyyah adanya haajah adanya tuntutan, adanya kebutuhan terhadap penjaminan utang, walaupun nominal utangnya belum jelas, itu ternyata juga nyata.

Karenanya, wallahu ta'ala a'lam  pendapat yang lebih kuat boleh menjamin utang orang lain, walaupun nominalnya belum bisa dipastikan selama penjamin itu merasa mampu, merasa bahwa dia betul-betul memiliki kesiapan secara finansial untuk melunasi, atau memberikan jaminan tersebut bila ternyata suatu saat betul-betul ia dituntut untuk menggantikan peran yang berutang (membayarkan utang) pihak kreditur.

Ini yang bisa kami sampaikan pada kesempatan kali ini, kurang dan lebihnya mohon maaf


وبالله التوفيق و الهداية
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•

Komentar