DI-0099 - Fiqih Muamalah Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja - Syarikat Dagang – Syarat-Syaratnya (Bagian Pertama)
🌐 WAG Dirosah Islamiyah
Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad
▪🗓 RABU
| 15 Shafar 1443H
| 22 September 2021M
🎙 Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
📗 Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja
🔈 Audio ke-99
📖 Syarikat Dagang – Syarat-Syaratnya (Bagian Pertama)
~•~•~•~•~
بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله، والصلاة و السلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه ومن والاه أمام بعد
Kaum muslimin dan muslimat peserta grup Dirosah Islamiyah yang semoga senantiasa dirahmati oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Kita memasuki pembahasan tentang Serikat Perdagangan, atau yang dikenal dengan As-syirkah الشركة. Al-Imam al-muallif rahimahullahu ta'ala (Al-Imam Abu Syuja') mengatakan,
وللشركة خمس شرائط:
Dibolehkannya berserikat dagang itu ada lima persyaratan yaitu:
Syarat Pertama
أن يكون على ناض من الداهم والدنانير،
“Modal perserikatan dagangannya harus dalam bentuk uang tunai baik dinar atau dirham.”
Modal yang disetorkan oleh masing-masing partner, masing-masing syariik itu harus dalam bentuk uang tunai yang berlaku di masanya, baik itu dinar dan dirham, ataupun uang giral yang ada di zaman sekarang, uang rupiah, dollar atau yang serupa.
Kenapa demikian, padahal hukum asalnya perserikatan itu adalah halal? Alasannya karena mata uang, dinar atau dirham, ataupun uang giral yang ada zaman sekarang, itu adalah standar nilai dan memiliki satuan yang baku.
Satu dinar, dua dinar, satu dirham, dua dirham, satu juta, dua juta, sehingga sangat mudah untuk pengembaliannya ketika kelak satu dari yang berserikat dagang itu memutuskan untuk keluar dari perserikatan.
Atau bisa jadi ketika mereka semua memutuskan untuk mengakhiri perserikatan, sehingga proses pengembalian modal, proses penghitungan keuntungan itu sangat mudah karena para serikat atau para sekutu akan berkata, "masing-masing modal saya sekian juta kembalikan modal saya utuh tanpa dikurangi dan tanpa ditambahi", dan selebihnya itu adalah profit (keuntungan) yang akan dibagi.
Namun ketika modal usahanya berupa benda, misalnya seekor sapi. Mereka masing-masing menyetorkan modal berupa seekor sapi. Ketika satu dari mereka memutuskan untuk keluar dari perserikatan dagang setelah setahun, setelah dua tahun berlalu maka konsekuensinya mereka harus mengembalikan modal berupa seekor sapi tersebut.
Dan seringkali ketika diputuskan harus mengembalikan modal ternyata nilai sapi telah mengalami kenaikan atau penurunan. Sehingga ini potensi menimbulkan sengketa. Ketika dilihat dari ukuran sapi mungkin mereka akan mengatakan, ini sama besarnya, umurnya sama, tetapi dari nilainya bisa jadi lebih nilainya lebih murah atau lebih mahal.
Sehingga pemodal yang keluar dari perserikatan dagang berkata, betul ini sapi yang sama besarnya, kriterianya serupa dengan sapi saya, namun sapi saya dulu kalau dikonversi dalam bentuk rupiah nilainya tiga puluh juta, sekarang ini nilainya hanya dua puluh lima atau bahkan nilainya menjadi empat puluh lima. Maka terjadi potensi sengketa.
Karena itu untuk menghindari potensi sengketa semacam ini, Imam Syafi'i rahimahullah dan juga para pengikutnya berfatwa tidak boleh berserikat dagang dengan modal selain mata uang yang berlaku di zamannya, yaitu dinar dan dirham, ataupun mata uang yang ada di zaman sekarang yaitu uang giral. Alasannya seperti yang disebutkan demi menghindari sengketa di kemudian hari.
Namun sebagian ulama yang lain mengatakan boleh berserikat dagang dengan non tunai, bukan dengan mata uang yang berlaku di zamannya, tetapi dengan barang-barang yang mitsliyat (barang-barang yang memiliki kesamaan yang identik) seperti beras, gandum, kurma atau yang serupa.
Karena semua orang mengatakan selama varietas berasnya sama, misalnya, raja lele dengan raja lele maka peluang terjadinya sengketa itu tidak terjadi, atau sangat kecil terjadi, maka mereka berfatwa boleh berserikat dagang bila modalnya adalah non tunai tetapi dalam bentuk mitsliyat, barang-barang yang memiliki keserupaan yang sangat identik (mendekati kemiripan yang sangat tinggi), ini pendapat yang kedua.
Pendapat ketiga, mereka berpendapat boleh berserikat dagang dengan modal apapun akan tetapi modal tersebut harus dikonversi, harus diuangkan, harus dibunyikan dalam bentuk uang.
Sehingga bisa jadi ketika berserikat dagang salah satu pihak setor modal dalam bentuk sebidang tanah seluas satu hektar, maka tanah yang ingin dijadikan modal ini harus dikonversi dalam bentuk nilai, dibunyikan dalam bentuk uang.
Yaitu sepetak tanah seluas satu hektar yang nilainya di saat akad disepakati senilai misalnya sepuluh miliar rupiah, pihak kedua setor modal dalam bentuk uang tunai senilai seratus miliar rupiah misalnya, sehingga komposisi modal adalah seratus sepuluh miliar. Seratus milyar dalam bentuk uang tunai yang sepuluh miliar dalam bentuk sebidang tanah.
Ini pendapat yang diutarakan Al Imam Ibnu Saad rahimahullahu ta'ala dan juga yang lainnya. Dan wallahu ta'ala alam, pendapat inilah yang sejalan dengan fakta di masyarakat di berbagai daerah.
Di berbagai zaman, terjadi praktek perserikatan dagang yang sesuai dengan fatwa Al Ibnu Sa'ad, modal tersetornya dalam bentuk barang, tetapi ketika penandatanganan akad kerja sama modal yang tersetor tersebut dikonversi ke dalam bentuk nominal uang.
Sehingga apa yang dikhawatirkan oleh para penganut mahdzab pertama, adanya fluktuasi nilai barang itu tidak terjadi, karena telah terjadi kesepakatan konversi nilai dari modal yang tersetor tersebut.
Wallāhu ta’ālā a’lam dan kurang lebihnya saya mohon maaf
وبالله التوفيق و الهداية
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
Komentar
Posting Komentar