DI-0121- Fiqih Muamalah Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja - Syarat-Syarat Al-Ikrar Atau Pengakuan - Bagian Kedua
🌐 WAG Dirosah Islamiyah
Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad
▪🗓 JUM’AT
| 15 Rabi’ul Awwal 1443H
| 22 Oktober 2021M
🎙 Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
📗 Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja
🔈 Audio ke-121
📖 Syarat-Syarat Al-Ikrar Atau Pengakuan - Bagian Kedua
~•~•~•~•~
بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله، والصلاة و السلام على رسول الله أمام بعد
Anggota grup Dirosah Islamiyah yang semoga senantiasa dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Masih bersama tema ikrar.
3️⃣ Syarat ketiga adalah, Al-Ikhtiar, dia melakukan tindakan itu dalam kondisi sadar bukan di bawah tekanan ataupun intimidasi atau paksaan orang lain.
Sehingga ketika dia melakukan tindakan itu dia tahu apa yang dilakukan dan dia sadar akan konsekuensi tindakan dia. Termasuk ketika membuat pernyataan atau pengakuan. Baik yang berkaitan dengan perdata ataupun pidana.
Adapun orang yang membuat satu pengakuan namun di bawah tekanan, di bawah intimidasi, dalam kondisi terjepit sehingga dia tidak ada pilihan lain kecuali mengakui. Maka dalam kondisi semacam ini, pengakuannya diabaikan. Karena bisa jadi kalau dia dalam kondisi normal, dia tidak mau. Tidak mau mengakui hal tersebut.
Namun karena mempertimbangkan maslahat yang lebih besar atau khawatir akan menanggung kerugian yang lebih besar, maka akhirnya dia terpaksa. Perlu dicatat di sini, "terpaksa membuat pengakuan". Maka dalam kondisi semacam ini berarti dia melakukan tindakan itu (pengakuan itu) dalam kondisi tidak berniat.
Padahal, telah tetap dalam syari'at Islam “setiap amal itu akan dianggap, diperhitungkan bila amalan itu dilakukan dengan sadar dan dengan niat.” Bahkan hasil dari tindakan ataupun pengucapan itu disesuaikan dengan apa yang dia niatkan.
Kalau dia meniatkan tindakan itu hanya sekedar untuk menyelamatkan dirinya dalam rangka menghindarkan mudharat, atau dalam rangka memproteksi kemaslahatan harta, jiwa, raga, yang dia miliki maka sabda Nabi Shallallahu'Alaihi Wa Sallam,
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ
Sejatinya setiap amalan itu pastilah disertakan dengan niat.
وَاِنَّاماَ وَلِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
Dan setiap orang itu hanya akan mendapatkan hasil dari perbuatan dan ucapannya sesuai dengan yang dia niatkan. [HR Bukhari, Muslim, dan empat imam Ahli Hadits]
Kalau seseorang itu mengakui, “ya saya membunuh, ya saya minum khamr, ya saya memiliki hutang.” Namun pengakuan itu hanya sekedar untuk menyelamatkan nyawanya agar tidak dibunuh, menyelamatkan hartanya agar tidak dirampas, menyelamatkan kehormatannya agar tidak dinodai. Maka tentu pengakuannya itu diabaikan.
Karena dia mengakui bukan dalam rangka mengakui hak orang lain, mengakui tindakannya agar ditegakkan hukum. Tapi pengakuan itu tujuannya hanya sekedar untuk menyelamatkan diri, ataupun menghindarkan dari mudharat atau kerugian yang lebih besar. Dan ini sejalan dengan sabda Nabi Shallallahu'Alaihi Wa Sallam,
وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
Dan setiap orang itu hanya akan mendapatkan hasil sesuai dengan apa yang dia niatkan.
Kemudian, ada satu hal yang mungkin perlu diluruskan di sini dari kata-kata "terpaksa". Karena kata-kata terpaksa ini di masyarakat seringkali memiliki dua arti yang berbeda.
▪ Arti pertama, arti terpaksa yaitu ketika dia membuat pengakuan dalam kondisi tertekan, diintimidasi, diancam. Dan ancaman ataupun intimidasi ini dilakukan oleh oknum oleh orang yang berbuat semena-mena: perampok, pembunuh bayaran, penguasa yang dzalim, atau orang yang dzalim secara umum.
Misalnya, kalau engkau tidak mengakui bahwa engkau berhutang kepada saya sekian ratus juta, maka anakmu akan saya bunuh, anaknya disandera misalnya. Maka demi menyelamatkan anaknya, maka dia akhirnya mengakui.
Maka setelah anaknya selamat (bisa diselamatkan) pengakuan ini diabaikan secara syari'at. Tidak memiliki konsekuensi hukum apapun. Kenapa? Karena pengakuan itu dilakukan terpaksa dalam rangka menyelamatkan, menjaga kemaslahatan yang lebih besar, atau menghindarkan mudharat (kerugian) yang lebih besar.
Adapun, bila yang dimaksud dengan kata terpaksa dalam tanda kutip itu adalah karena dia tidak punya pilihan lain dan paksaan itu dilakukan dengan benar, beralasan.
Misalnya, seringkali kita dengar orang yang berhutang dan telah jatuh tempo kadang dia memiliki uang yang cukup untuk membayar hutang tersebut. Namun di saat yang sama dia memiliki keinginan untuk membeli sepeda motor atau kendaraan atau yang lain.
Namun akhirnya dia harus memilih, dia harus realistis. Bahwa uang dia terbatas, uang dia hanya cukup untuk melakukan satu hal, membayar hutang atau membeli kendaraan. Ketika dia realistis, akhirnya dia harus memilih mana yang lebih layak untuk diprioritaskan.
Akhirnya dia berfikir, “oh berarti bayar hutang.” Karena bayar hutang itu berkaitan dengan hak orang lain. Yang kedua, itu hukumnya wajib telah jatuh tempo. Sedangkan membeli kendaraan atau menunaikan ibadah Umroh itu tidak wajib, kalau ternyata uangnya sudah habis digunakan untuk bayar hutang.
Akhirnya dia setelah mempertimbangkan ini dan itu akhirnya dia mengatakan, “terpaksa saya batalkan umrohnya, terpaksa saya tidak jadi beli kendaraan, terpaksa saya harus bayar hutang”.
Ini bukan terpaksa. Karena kondisi ini (kondisi di mana dia harus memilih satu dari dua itu), itu terjadi bukan atas kesewenang-wenangan, terjadi bukan atas kezhaliman atau intimidasi. Tetapi itulah realistis, harus memilih. Sehingga sebetulnya itu bukan paksaan.
Dalam perhitungan syari’at, dalam hukum syari'at, kondisi semacam ini tidak bisa dikatakan sebagai terpaksa. Sehingga apa yang harus dilakukan? Dia mengakui kalau memang dia punya hutang. Sehingga kalau dalam kondisi misalnya semula dia ingin menunda-nunda hutang sampai pun ketika jatuh tempo, dia masih menunda.
Akhirnya kreditur melaporkannya ke pengadilan. Ketika sampai di pengadilan, pihak kreditur mendatangkan bukti, saksi-saksi yang valid. Sehingga pihak yang berhutang akan dihadapkan pada dua pilihan, “membayar hutang’ atau “kalau tidak maka dia akan dipailitkan”.
Dan kalau dipailitkan berarti seluruh asetnya akan diserahkan kepada kurator, pihak yang ditunjuk oleh pengadilan untuk menginventaris aset dan kemudian melelangnya.
Kondisi yang semacam ini ketika pihak kreditur melaporkannya ke pengadilan dan dia membuktikan dengan alat bukti yang valid, dan kemudian pengadilan pun melalui proses yang dilalui nanti akan menjatuhkan satu hukuman, yaitu menjatuhkan hukum pailit.
Atau kalau tidak bisa dijatuhkan hukum pailit karena tidak ada manfaatnya, orang tersebut menyembunyikan kekayaannya. Maka apa yang dilakukan? Bisa jadi dia memenjarakannya, mencambuknya.
Kadangkala dalam kondisi semacam ini pihak yang berhutang mengucapkan, daripada nanti dipenjara, daripada nanti dipailitkan, terpaksa saya jual kendaraan saya. Untuk apa? Membayar hutang. I
ni bukan terpaksa. Kenapa? Karena membayar hutang itu adalah sebuah kewajiban yang harus anda lakukan, walaupun itu bertentangan dengan selera dan nafsu. Bisa jadi anda berselera, anda bernafsu, punya keinginan untuk menunda pembayaran hutang. Kenapa? Karena anda memiliki kepentingan yang lain.
Anda merasa beralasan seperti yang sering terjadi. “Bukankah kreditur banyak uangnya? Toh kalaupun saya bayarkan hutang ini dananya juga dia tidak gunakan. Dia banyak kok dananya”.
Apa pun alasannya kalau hutang itu telah jatuh tempo anda harus bayar. Ketika anda tidak bayar, tidak memenuhi komitmen perjanjian hutang piutang atau yang dikenal dengan wanprestasi. Anda mampu tapi tidak kooperatif melakukan pembayaran.
Maka pihak kreditur (yang menghutangi) berhak mengajukan gugatan pailit. Akhirnya anda merasa, “Daripada dipailitkan terpaksa saya bayar hutang, saya mengakui bahwa saya punya uang, saya mampu membayar”.
Pengakuan ini, pengakuan yang valid yang diakui atau diterima secara syari'at dan bisa dijadikan sebagai dasar hukum. Karena pengakuan ini adalah pengakuan yang dilakukan bukan karena paksaan. Tetapi ini adalah sebuah kewajiban yang dia tinggalkan. Ingin dia tinggalkan. Dan tentu itu tidak benar.
Yang kedua. Kalaupun ada pemaksaan, ada intimidasi dalam tanda kutip, anda akan dipenjara, anda akan dipailitkan. Mungkin sebagian orang yang berpikir semena-mena. Dia berpikir, “saya akan dipenjara, saya dipaksa untuk membayar hutang”. Bukan dipaksa. Kalaupun itu sebagai paksaan, maka ini paksaan yang dibenarkan. Paksaan yang dibenarkan.
Seperti halnya misalnya orang yang belum membayar zakat. Maka dalam literasi hukum fiqih, orang yang tidak membayar zakat padahal dia mampu, padahal dia bisa. Namun dia pelit, kikir. Maka dalam literasi ilmu fiqih, sebagian ulama mengatakan “orang yang tidak membayar zakat, itu zakatnya boleh dipungut dengan paksa”.
Dan bahkan dalam sebagian riwayat dari Nabi Shallallahu'Alaihi Wa Sallam beliau bersabda,
فَإِنَّا آخِذُوهَا وَشَطْرَ مَالِهِ
Kami akan ambil zakat itu dengan paksa dan bahkan kami akan jatuhkan suatu hukuman, yaitu separuh kekayaannya akan kami sita. Akan diambil oleh negara. [HR Abu Dawud: 1575]
Sehingga ini adalah sebuah pemaksaan. Mengambil zakat dengan paksa. Bahkan di zaman Khalifah Abu Bakar Radhiyallahu Ta'ala Anhu, Beliau memaksa, bahkan sampai pada level memerangi مانع الزكاة (Orang yang enggan membayar zakat).
Banyak orang menganggap ini adalah sebuah paksaan. Tapi kalaupun itu sebuah paksaan, itu paksaan yang dibenarkan. Paksaan yang diajarkan. Paksaan yang memiliki alasan yang diterima secara tinjauan syari’at. Dan ini bukan terpaksa yang kemudian menjadikan anda, pengakuan anda, ucapan anda diabaikan. Tidak.
Bahkan sebaliknya, kalaupun anda mengakui dalam kondisi ini dengan dalih anda terpaksa, maka ini dianggap sebagai paksaan yang benar, paksaan yang direstui. Sehingga ketika anda mengakui, maka pengakuan anda itu diterima. Dan kemudian akan dijadikan sebagai alat bukti dalam peradilan.
Ini yang bisa kami sampaikan pada kesempatan yang berbahagia ini. Kurang dan lebihnya mohon maaf.
وبالله التوفيق و الهداية
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
Komentar
Posting Komentar