DI-0123- Fiqih Muamalah Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja - Al-Ikrar Sebagai Alat Bukti - Bagian Pertama
🌐 WAG Dirosah Islamiyah
Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad
▪🗓 SELASA
| 19 Rabi’ul Awwal 1443H
| 26 Oktober 2021M
🎙 Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
📗 Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja
🔈 Audio ke-123
📖 Al-Ikrar Sebagai Alat Bukti - Bagian Pertama
~•~•~•~•~
بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله، والصلاة و السلام على رسول الله أمام بعد
Anggota grup Dirosah Islamiyah yang semoga senantiasa dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Masih bersama tema ikrar. Al-Mualif Al-Imam Abu Syuja rahimahullahu ta'ala mengatakan,
وإذا أقر بمجهول رجع إليه في بيانه
Bila seorang yang membuat satu pengakuan itu pengakuannya bersifat global, misalnya dengan mengatakan, “Ya, saya mengakui bahwa saya punya tanggungan untuk si Fulan”, “Saya memiliki kewajiban untuk membayar suatu harta, mengembalikan suatu harta kepada si Fulan”, atau “si Fulan memiliki hak atas saya”.
Apa hak tersebut? Apa dasar terjadinya hak yang terutang tersebut? Dia tidak menyebutkan. Dia hanya mengakui bahwa dia memiliki tanggungan yang belum dia tunaikan untuk si Fulan atau kepada si Fulan.
Maka dalam kasus semacam ini, pengakuan ini karena bersifat global tidak mungkin dieksekusi, tidak bisa dituntut karena pengakuannya global. Apakah hak dalam kaitan pidana, perdata, atau kalau pun ada hak perdata misalnya berapa jumlahnya, atas dasar apa terjadi hak tersebut.
Maka solusinya رجع إليه في بيانه kita harus bertanya, meminta klarifikasi, penjelasan, penjabaran, baik tertulis maupun secara lisan tentang maksud dari pengakuan tersebut.
Karena al-muqir orang yang membuat satu pengakuan, dialah yang paling tahu tentang apa yang diakui tersebut. Tidak ada orang yang berhak menafsirkan pengakuan tersebut selama pihak yang mengakui secara kooperatif mau menafsirkan, menjabarkan tentang apa yang dia katakan tersebut.
Maka langkah pertama yang harus kita lakukan ketika ada sebuah pengakuan yang bersifat global adalah meminta klarifikasi kepada pihak yang mengakui tersebut apa dan bagaimana, seperti apa perincian dari pengakuan itu.
Kalau dia telah memberikan pengakuan dan kemudian secara kooperatif menafsirkan maksud dan rincian dari pengakuannya, maka sebatas itulah yang akan kita jadikan sebagai acuan dalam menetapkan suatu keputusan hukum.
Ketika dia mengatakan, "Iya saya memiliki tanggungan hak kepada si Fulan", kemudian ketika kita tanyakan, "Apa hak tersebut? Apa tanggungan tersebut?" Dia mengatakan, “Utang-piutang yang belum saya bayar", nilainya (nominalnya) adalah 10 juta rupiah". Sehingga inilah maksimal dari utang yang harus dia bayarkan berdasarkan alat bukti berupa pengakuan dia.
Ketika si Fulan (pihak kreditur) mengatakan, “Tidak! Piutang saya atas orang tersebut senilai 100 juta, bukan 10 juta”. Maka pihak kreditur tidak bisa berdalih tidak bisa menjadikan ikrar (pengakuan) yang ternyata ditafsirkan sebesar 10 juta itu sebagai alat bukti untuk menggugat al-muqir orang yang membuat pengakuan atas tuduhan berutang sebesar 100 juta.
Pihak kreditur harus mencari alat bukti lain, yang bisa membuktikan bahwa orang tersebut betul-betul berutang 100 juta dan utang itu belum terbayar.
Kenapa demikian?
Ada satu kaidah dalam ilmu fiqih yang mengatakan ﺍﻷﺻـﻞ ﺑـﺮﺍﺀﺓ ﺍﻟﺬﻣـﺔ , hukum asal setiap manusia itu bebas dari tanggungan. Aslinya manusia itu tidak punya tanggungan apa pun, baik tanggungan ibadah ataupun tanggungan utang-piutang atau hak sesama manusia.
Dengan demikian siapa pun yang kemudian membuat suatu klaim bahwa ada seseorang memiliki kewajiban, memiliki tanggungan baik yang berkaitan dengan agama, sosial, kemasyarakatan, atau pun hak perdata. Maka dia harus mendatangkan bukti, baik dalil dalam Al-Quran & Hadits atau pun alat bukti berupa saksi, tulisan, nota, ataupun yang serupa.
Ketika klaim sepihak ini tidak didukung dengan alat bukti, dengan dalil yang valid maka klaim ini tidak bisa diterima. Kenapa? Bertentangan dengan kaidah asal yaitu ﺑـﺮﺍﺀﺓ ﺍﻟﺬﻣـﺔ aslinya manusia ini terlahir ke dunia dalam kondisi tidak memiliki tanggungan apapun. Ini hukum asal.
Karenanya ketika terjadi sengketa, karena perlu diketahui ikrar itu satu dari sekian banyak alat bukti yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam menetapkan hukum dalam peradilan Islam. Maka kalau dalam satu kasus sengketa perdata atau pun pidana pihak tertuduh membuat satu pengakuan.
Pihak terdakwa membuat satu pengakuan bahwa dia telah berutang dan nominal utangnya itu kemudian dia tafsirkan dia jabarkan sebesar 10 juta, maka hanya itu batas maksimal ia harus membayar, berdasarkan alat bukti ikrar ini.
Dia tidak berkewajiban dan tidak boleh diminta untuk membayar lebih dari 10 juta hanya berdasarkan ikrar yang ternyata semula ikrar pertama (pengakuan pertama) bersifat global dan kemudian dia tafsirkan, dia jabarkan, dia jelaskan pengakuan tersebut, bahwa utang yang belum dibayar sebesar 10 juta.
رجع إليه في بيانه
Ini hukum asalnya demikian, dalam segala kondisi baik pengakuannya itu normal (wajar) dalam kata lain atau pengakuan itu tidak wajar, penafsiran tersebut tidak wajar, tidak sesuai dengan tradisi.
Misalnya:
Ketika seseorang itu bersengketa dalam transaksi pembelian kendaraan, terjadi sengketa bahwa A menjual kendaraannya kepada si B dengan pembayaran berjangka dan kedua belah pihak dikemudian hari sengketa. Bahwa si A menjual satu unit kendaraan roda empat kepada si B dengan pembayaran berjangka.
Kemudian si B (pihak pembeli) di kemudian hari bersengketa dengan pihak A sebagai penjual, dengan kasus bahwa A menuduh si B sebagai pembeli belum melakukan pembayaran sama sekali dari nilai kendaraan yang dia beli.
Kendaraannya baru misalnya satu unit roda empat Avanza, kendaraan baru normalnya dikisaran angka 200 juta, tetapi si B sebagai pihak tertuduh mengakui, "Iya saya membeli kendaraan tersebut dan belum melakukan pembayaran".
Saya mengakui akad tersebut, adanya utang tersebut dan saya juga mengakui bahwasanya saya belum membayar, tetapi saya telah bersepakat dengan dia bahwa pembelian kendaraan satu unit Avanza baru ini senilai 10 juta rupiah saja, bukan 200 juta. Akan tetapi si A mengklaim bahwa penjualan ini dengan harga yang normal, harga yang wajar yaitu harga pasaran 200 juta.
Maka dalam kondisi semacam ini menurut madzhab Syafi’i, pengakuan si B yang mengatakan bahwa dia membeli satu unit Avanza baru dan dengan pembayaran berjangka, nilai transaksinya sebesar 10 juta. Hanya ini yang wajib dibayar berdasarkan pengakuan dia.
Dia tidak boleh diminta lebih dari 10 juta, kecuali bila si A sebagai penjual bisa mendatangkan alat bukti lain, tetapi ketika kasusnya si A tidak bisa mendatangkan alat bukti, kecuali hanya pengakuan si B sebagai pembeli, dan ternyata si B pengakuannya mengatakan bahwa transaksi penjualan ini hanya senilai 10 juta, bukan 200 juta, sehingga pengakuan ini tidak normal tidak sesuai dengan harga pasar.
Maka kalau si A tidak memiliki alat bukti lain, si A hanya berhak mendapatkan 10 juta, kalau pun ternyata si B berbohong dalam pengakuan ini, maka si A tidak lagi bisa mendatangkan bukti, sehingga dia tidak bisa dibenarkan secara peradilan.
Karena salah satu kaidah dalam peradilan hakim itu hanya berwenang memutuskan berdasarkan alat bukti yang diutarakan, disuguhkan, didatangkan oleh kedua belah pihak. Baik bukti itu misalnya sesuai dengan fakta atau tidak sesuai dengan fakta.
Hakim hanya bisa memutuskan berdasarkan alat bukti, walaupun pengakuan si B tadi tidak logis, tidak sesuai dengan harga pasaran. Maka itu bukan urusan hakim, itu adalah resiko si A yang melakukan transaksi tanpa alat bukti. Sehingga dia yang harus menanggung kerugian, karena Rasulullah shallallahu 'alayhi wa sallam telah bersabda:
إنما أنا بشر
"Aku manusia biasa."
أحكموا علَى نَحْوِ ما أسْمَعُ
"Aku hanya berhak (berwenang) memutuskan satu keputusan berdasarkan data, alat bukti yang aku dapatkan, aku dengar dari kalian berdua."
Alias seorang hakim tidak bisa memutuskan hanya berdasarkan asumsi atau persepsi dia, walaupun itu benar, tapi kalau tidak didukung dengan alat bukti maka dia tidak bisa, tidak boleh bahkan memutuskan keputusan yang tanpa didukung alat bukti. Dengan demikian si A menanggung resiko sendiri, ini madzhab Imam Asy-Syafi'i.
Sehingga pengakuan si B karena telah ditafsirkan senilai 10 juta maka hanya itu yang wajib dia bayarkan secara perdata (hukum perdata).
Ini penjelasan yang dapat kami sampaikan pada kesempatan kali ini, kurang lebihnya saya mohon maaf.
وبالله التوفيق و الهداية
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
Komentar
Posting Komentar