DI-0126- Fiqih Muamalah Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja - Al Ikrar atau Pengakuan Tetap Diakui Dalam Kondisi Sehat dan Sakit
🌐 WAG Dirosah Islamiyah
Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad
▪🗓 JUM’AT
| 22 Rabi’ul Awwal 1443H
| 29 Oktober 2021M
🎙 Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
📗 Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja
🔈 Audio ke-126
📖 Al Ikrar atau Pengakuan Tetap Diakui Dalam Kondisi Sehat dan Sakit
~•~•~•~•~
بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله، والصلاة و السلام على رسول الله أمام بعد
Anggota grup Dirosah Islamiyah yang semoga senantiasa dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Masih bersama tema الإقرار yaitu pengakuan. Al-Muallif rahimahullahu taala mengatakan,
وهو في حال الصحة والمرض سواء
Dan الإقرار (pengakuan) itu semuanya diterima, baik pengakuan itu dilakukan di saat dia sehat walafiat atau dilakukan di saat dia telah mengalami sakit parah (sakit yang berat) yang ada kemungkinan tidak lama lagi dia akan meninggal dunia.
Ikrar bukanlah suatu transaksi baru, tetapi ikrar itu adalah alat bukti, sehingga ketika dia membuat satu pengakuan sejatinya dia hanya mengakui, menceritakan apa yang telah dilakukan sebelumnya, baik itu satu tindakan komersial ataupun tindakan sosial.
Sehingga walaupun orang dalam kondisi sakit parah, berstatus مجرور عليه kewenangannya untuk membelanjakan harta itu terbatasi oleh hak-hak ahli warisnya, tetapi ketika orang yang sedang sakit parah itu membuat satu pengakuan, maka pengakuannya itu diterima dan wajib dijalankan, termasuk pengakuan yang berkaitan dengan hukum pidana atau pun perdata.
Ketika dia dalam kondisi sakit parah, dia mengakui bahwa Fulan ataupun Fulanah pernah menghutangkan uang kepadanya dan belum dia bayar. Bisa jadi piutang tersebut nilainya besar melebihi dari sepertiga dari total harta warisan yang akan dia tinggalkan, tidak mengapa.
Sampaipun kalau kandungan dari pengakuannya itu nilainya sebesar setengah dari kekayaan yang akan dia tinggalkan ketika dia mati, maka tidak masalah.
Kenapa? Karena al ikrar bukan,
إنشاء شىء جديد لم يكن موجوداً
Ikrar bukanlah satu tindakan yang melakukan suatu transaksi baru yang sebelumnya tidak ada, tetapi sebaliknya al ikrar itu adalah al-kasyfu atau al-bayyinah, itu adalah alat bukti untuk membuktikan adanya satu transaksi yang dilakukan sebelum ia membuat suatu pengakuan.
Ikrar adalah alat bukti, ia bagaikan saksi, ia bagaikan juru tulis, ia bagaikan barang gadai, yang semua itu memiliki fungsi sebagai alat bukti terhadap suatu transaksi atau tindakan hukum.
Dengan demikian, dalil-dalil yang berkaitan dengan،
الحجر على المريض
Membatasi kewenangan orang yang sakit parah tidak berlaku dalam باب الاقرارkarena ikrar bukan,
إنشاء شىء جديد لم يكن موجوداً
Dia bukan satu tindakan perdata, itu bukan satu tindakan yang melakukan akad baru, tetapi ikrar hanya sebatas menunjukkan alat bukti, mengakui adanya transaksi yang terjadi jauh-jauh hari.
Bagaikan orang yang sedang sakit parah kemudian dia mengeluarkan surat wasiat, mengeluarkan kontrak kerja, maka alat-alat bukti tersebut yang berupa saksi, mendatangkan saksi, atau pun alat bukti berupa tulisan, nota pembelian, atau sertifikat tanah, atau buku nikah, atau misalnya akad wakaf, hibah, semua itu diterima.
Walaupun alat bukti alat bukti itu baru ditunjukkan, baru diekspos, baru diungkap ketika ia dalam kondisi sakit parah. Karena fungsi alat bukti tersebut tidaklah dihasilkan oleh pengakuan, tetapi kekuatan alat bukti tersebut, kewajiban untuk mengamalkan alat bukti tersebut telah ditetapkan secara syariat bukan atas dasar wasiat siapapun, atau perintah siapapun selain Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Dan itu merupakan alat bukti yang membuktikan adanya transaksi sebelum dia mengalami kondisi sakit parah.
Karenanya al muallif begitu juga fuqoha imam syafi’i dan juga yang lainnya mengatakan,
وهو في حال الصحة والمرض سواء
Pengakuan yang dilakukan di saat dia sehat walafiat ataupun di saat dia sakit parah itu sama hukumnya.
Tidak ada yang lebih diprioritaskan atau perlu diragukan akan dasar hukumnya, semua itu adalah alat bukti yang sah.
Sebagaimana ketika ada orang sakit parah dia mengeluarkan nota pembelian, atau sertifikat tanah maka semua orang sepakat, bahwa alat bukti yang ditunjukkan oleh orang yang sakit parah itu wajib dijalankan sesuai dengan kondisi dan konteks yang ada.
Tidak ada alasan untuk kemudian mengatakan, "Tetapi pihak yang mengeluarkan menunjukkan sertifikat tanah, menunjukkan adanya ikatan kerja, dia dalam kondisi parah”. Tidak!
Karena ini bukan akad baru, tetapi sekali lagi ini sekadar alat bukti saja sehingga tidak perlu dirisaukan tentang bahwa orang yang sakit parah itu dalam kondisi mahjur kewenangannya, bertindak dibatasi, tidak !
Dengan ikrar dia tidak membuat akad baru, sekali lagi tidak membuat akad baru yang sebelumnya tidak ada tetapi ia hanya mengakui, membuktikan tentang kebenaran adanya transaksi, adanya ikatan yang telah dicapai jauh-jauh hari sebelum dia mengalami sakit parah.
Dengan demikian sebagai kesimpulannya, dalam al-ikrar yang menjadi acuan adalah yang membuat pengakuan itu berakal sehat, baligh, tidak ada paksaan.
Dan kalau itu pengakuan yang berkaitan dengan perdata, hutang piutang dan yang serupa maka ada persyaratan keempat dia dalam kondisi rasyid, dia cakap membelanjakan hartanya.
Adapun pengakuan yang dilakukan di saat dia dalam kondisi mahjur, kewenangan atas hartanya dibatasi, atau yang dikenal dengan dipailitkan, atau dia dalam kondisi sakit parah, Itu semua tidak menghalangi keabsahan ikrar.
Kenapa? Karena ikrar bukan transaksi baru, ikrar itu hanya sebatas alat bukti adanya satu ikatan bisnis, adanya ikatan hak hutang piutang atau yang serupa.
Adapun akad hutang piutang atau perniagaan itu tentu secara logika itu telah terjadi jauh-jauh hari sebelum orang yang sakit parah tersebut membuat satu pengakuan.
Ini penjelasan tentang al ikrar sebagai alat bukti yang sah, yang valid, yang diterima secara syariat, dan dapat dijadikan dasar oleh hakim untuk menetapkan suatu perkara. Terlebih menurut literasi ilmu peradilan Islam, al ikrar itu merupakan aqwal hujjah, merupakan alat bukti yang paling valid, alat bukti yang paling kuat.
Kenapa? Karena ketika pihak yang tertuduh (yang terdakwa) itu mengakui, maka tidak perlu lagi adanya alat bukti lain.
Dan juga tidak ada alasan bagi hakim untuk kemudian menolak pengakuan tersebut, selama pengakuan itu telah memenuhi kriteria yang telah disebutkan, dia dalam kondisi berakal sehat, telah berumur baligh, dia dalam kondisi tidak sedang dalam tekanan ataupun pengaruh alkohol
Dan yang terakhir kalau itu pengakuan yang berkaitan dengan hukum perdata, maka dia adalah orang yang الرشد sadar hukum akan konsekuensi dari setiap ucapan dan tindakan yang dia lakukan.
Ini yang bisa kami sampaikan pada kesempatan yang berbahagia ini, semoga Allāh Subhānahu wa Ta’āla telah menambahkan taufik hidayah kepada anda dan kepada kita semuanya.
Kurang dan lebihnya saya mohon maaf
بالله التوفيق و الهداية
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
Komentar
Posting Komentar