DI-0127- Fiqih Muamalah Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja - ’Āriyah (Peminjaman Barang) Bagian Pertama

 🌐 WAG Dirosah Islamiyah
Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad

▪🗓 SENIN
 | 22 Jumādā al-Ūlā 1443H
 | 27 Desember 2021M

🎙 Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
📗 Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja

🔈 Audio ke-127
📖 ’Āriyah (Peminjaman Barang) Bagian Pertama
~•~•~•~•~



بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله أما بعد

Anggota grup Dirosah Islamiyah yang semoga senantiasa dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Alhamdulillah, pada kesempatan yang berbahagia ini kembali saya hadir untuk melanjutkan kajian kita pada Matan Al-Ghayah Fil Ikhtisar buah karya Syeikh Al-Imam Abu Syuja Rahimahullah.

Pada kesempatan ini kita sampai pada pembahasan العارية yaitu peminjaman barang.

Di dalam literasi ilmu fiqih yang namanya  عارية itu adalah meminjamkan barang untuk digunakan, untuk diambil kegunaannya, seperti anda meminjamkan pisau, meminjamkan kendaraan untuk dikendarai, atau benda-benda yang lainnya.

Adanya akad ’Āriyah (meminjamkan barang) kepada saudara atau orang lain, ini sebagai bukti nyata bahwa diinul Islam, agama Islam adalah agama yang peduli dengan nilai-nilai sosial.

Bahkan begitu pentingnya nilai-nilai sosial dalam Islam, sampai Allāh Subhānahu wa Ta’āla menurunkan satu ayat yang spesial menjelaskan tentang syari'at العارية (meminjamkan barang), yaitu surat Al-Ma'un.

Karena memang manusia diciptakan sebagai makhluk sosial. Yang tidak mungkin hidup sendiri, tidak mungkin memenuhi kebutuhannya sendiri. Berbeda dengan makhluk lain seperti binatang.

Binatang rata-rata mereka tidak memiliki nilai sosial. Mereka hidup mandiri, sendiri-sendiri tidak berkoloni, tidak saling tolong-menolong. Hanya sebagian binatang yang mereka hidup berkoloni (berkelompok). Sehingga mereka dalam memenuhi kebutuhannya bekerjasama, bertolong menolong.

Misalnya burung, kebanyakan burung kecuali dalam kondisi kawin saja mereka hidup sendiri-sendiri. Mencari makan sendiri, pergi sendiri, dan hidup di sangkar sendiri-sendiri.

Hanya sebagian makhluk seperti lebah, semut, dan lain-lainnya yang mereka hidup berkoloni. Dan itupun tentu sangat berbeda dengan nilai-nilai sosial yang diajarkan dalam Islam.

Karena nilai sosial dalam Islam bukan sebatas tolong-menolong karena saling membutuhkan tetapi ada nilai-nilai Ubudiyah (nilai-nilai beribadah). Mensyukuri nikmat Allāh, nilai-nilai menjiwai, dan kemudian mengimplementasikan tentang sebagian dari sifat-sifat mulia yang Allāh cintai.

Dan bahkan itu merupakan sifat yang Allāh perintahkan, seperti tolong-menolong, menyantuni, bersedekah dan lain sebagainya. Termasuk salah satunya adalah pinjam meminjamkan barang.

Al Mualif Rahimahullah, Al Imam Abu Syuja mengawali pembahasan bab ini dengan mengatakan,

وكل ما جاز الانتفاع به مع بقاء عينه جازت إعارته إذا كانت منافعه ءاثارا

Beliau mengatakan, “semua barang, semua benda yang boleh digunakan, boleh dimanfaatkan.”

مع بقاء عينه

Dan barang tersebut ketika dimanfaatkan, digunakan fisik barangnya tetap utuh tidak rusak, tidak hilang, tidak sirna.

Ini menggambarkan bahwa barang-barang yang kegunaannya pemanfaatannya dengan cara dimusnahkan dengan cara dikonsumsi tidak tercakup dalam pembahasan kita seperti makanan misalnya. Itu barang yang berguna, tetapi pemanfaatannya dengan cara dikonsumsi sehingga sirna, hilang, musnah. Ini tidak termasuk pembahasan ’Āriyah.

Sebagaimana mata uang ada gunanya, ada manfaatnya. Tetapi ketika manfaat mata uang itu dengan cara dibelanjakan, digunakan membeli sehingga fisik barang yang tadi dipinjamkan ketika digunakan dimanfaatkan maka fisiknya akan berganti dan hilang, maka ini juga tidak bisa dikatakan dengan ’Āriyah tetapi itu dain (utang piutang).

Karena itu dalam literasi ilmu fiqih misalnya, Asy Syeikh Rozy dalam kitab Ilmu Muhadzab, begitu juga Al-Mughni serta yang lainnya, Ibnu Qudamah, Al-Hambali serta ulama dalam madzhab yang lain mengatakan bahwa,

عارية الدراهم للانفاق بها قروض

Meminjamkan mata uang dinar ataupun dirham untuk dibelanjakan itu sejatinya adalah utang-piutang walau di masyarakat telah terbiasa turun-temurun menggunakan bahasa atau memoles memperlunak bahasa utang dengan bahasa pinjam.

Tetapi karena pemanfaatan dinar itu dengan cara dibelanjakan, diserahterima-kan, sehingga ketika telah dimanfaatkan fisik dinarnya, fisik mata uangnya hilang, berganti menjadi barang lain.

Dan ketika nanti mengembalikan maka yang dikembalikan juga mata uang yang senilai. Bukan mata uang yang semula dipinjamkan, telah berganti maka ini dianggap sebagai قرض  piutang, bukan sebagai peminjaman.

Karena secara istilah pinjam-meminjam dalam syarat itu adalah Anda meminjamkan barang, menyerahkan, memberikan izin, restu kepada orang lain untuk mengambil manfaat, mendapatkan hak guna dari barang milik Anda dengan tetap menjaga fisik barang tersebut tanpa merusakkannya. Tanpa memusnahkannya”. Ini yang disebut dengan Al-’Āriyah.

Dengan demikian setiap barang yang tidak boleh digunakan karena haram hak gunanya. Seperti khamr maka tidak boleh dipinjamkan. Atau barang-barang yang pemanfaatannya dengan cara dimusnahkan (makanan). Maka itu tidak disebut dengan ’Āriyah namun disebut dengan utang piutang.

Sampai di sini yang bisa kami sampaikan pada kesempatan kali ini, kurang dan lebihnya mohon maaf.

بالله التوفيق و الهداية
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•

Komentar