DI-0128- Fiqih Muamalah Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja - ’Āriyah (Peminjaman Barang) Bagian Kedua
🌐 WAG Dirosah Islamiyah
Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad
▪🗓 SELASA
| 23 Jumādā al-Ūlā 1443H
| 28 Desember 2021M
🎙 Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
📗 Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja
🔈 Audio ke-128
📖 ’Āriyah (Peminjaman Barang) Bagian Kedua
~•~•~•~•~
بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله أما بعد
Anggota grup Dirosah Islamiyah yang semoga senantiasa dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Kita sampai pada pembahasan العارية yaitu peminjaman barang. Al muallif rahimahullah al Imam Abu Syuja' mengatakan,
جازت إعارته
Katanya, boleh dipinjamkan.
Di sini al-muallif menggunakan kata-kata "جازت (boleh)", beliau tidak mengatakan "wajib" ( وجبت misalnya). Beliau juga tidak mengatakan, يستحب (disunahkan) tidak! Tapi beliau mengatakan جازت, boleh.
Sehingga redaksi muallif (al-imam Abu Suja') menimbulkan satu pertanyaan pada diri kita, lalu hukum al-’Āriyah sendiri apa?
Beliau hanya berbicara tentang barang-barang yang bisa dipinjamkan, tetapi beliau tidak berbicara tentang hukum meminjamkan sendiri.
Para ahli fiqih membedakan hukum pinjam meminjam menjadi dua kelompok (hukum).
Meminjamkan bagi orang yang memiliki barang, hukumnya adalah sunnah. Bahkan dalam beberapa kondisi bisa menjadi wajib. Ini ditinjau dari sudut pemilik barang.
Kenapa? karena meminjamkan barang itu termasuk tolong-menolong, termasuk akad sosial. Dan akad sosial itu hukumnya tentu disyariatkan (disunnahkan).
Tetapi dalam beberapa kondisi, meminjamkan barang bisa mencapai hukum wajib.
Kapan? Bila barang yang dipinjamkan itu adalah barang yang sepele, barang yang ringan tidak menyusahkan, di saat saudara kita yang meminjam itu membutuhkan dan kita juga tidak menanggung kerugian ataupun tidak menanggung kesusahan ataupun tidak direpotkan dengan meminjamkan tersebut.
Seperti, pinjam meminjam pisau untuk motong, panci untuk masak, atau hal yang serupa, yang secara tradisi (turun temurun) di berbagai masyarakat di setiap masa telah berjalan secara alami sesama tetangga saling meminjamkan.
Maka ketika ada saudara kita membutuhkan hal yang semacam ini, dan dia ingin meminjam dan kemudian akan segera mengembalikannya maka bisa sampai pada wajib hukumnya meminjamkan.
Bahkan Allāh Subhānahu wa Ta’āla telah mencela orang-orang yang enggan meminjamkan barang-barang semacam ini. Sampai menurunkan satu surat spesial yang dinamakan dengan Surah Al-Ma’un.
Allāh katakan,
وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ
Mereka orang-orang yang mendustakan agama itu salah satu konsekuensi (akibat) dari minimnya keimanan, bahkan lunturnya keimanan mereka adalah,
إستحكم البخل
Sifat kikir itu betul-betul telah mengkristal dalam dirinya, sehingga hal yang sepele pun mereka tidak meminjamkannya, termasuk misalnya panci, piring, gelas ataupun pisau atau yang serupa, alat-alat masak.
Ketika ada orang yang sampai pada hal yang sepele ini mereka tidak mau meminjamkan dengan dalih privasi, dengan dalih (misalnya) sayang, atau yang lainnya, ini cerminan adanya sikap إستحكم البخل atau الحِرص الأشديد, rasa kikir (pelit) yang tentu itu satu sifat yang tercela.
Karenanya, dalam kondisi semacam ini sebagai konsekuensi hak bertetangga, hak bersahabat, maka wajar bila kemudian sebagian ulama mengatakan, bahwa "meminjamkan barang-barang semacam ini hukumnya wajib, bukan sekedar sunnah".
Ketika anda tidak mau meminjamkannya itu cermin anda tidak menunaikan hak-hak sesama tetangga. Anda tidak menunaikan kewajiban sebagai sesama orang muslim.
Apalagi muslim tersebut adalah bertetangga, apalagi ketika pertetanggaan itu masih juga ada hubungan kekerabatan, tentu kalau sampai hal yang sepele ini anda tidak meminjamkan itu cermin adanya sifat yang sangat tercela yaitu البخل sifat kikir.
Karenanya, ditinjau dari pemilik barang, maka meminjamkan itu hukumnya sunnah. Dan bahkan dalam beberapa kondisi bisa mencapai hukum wajib. Apalagi bila peminjamnya itu betul-betul membutuhkan, akan menanggung kerugian atau ditimpa kesusahan, bila Anda tidak meminjaminya.
Maka, dalam kondisi semacam ini anda punya kewajiban untuk menolongnya apalagi anda tidak disusahkan, tidak menjadi repot dan juga tidak dirugikan. Apalagi pertolongan ini begitu mudah untuk anda lakukan.
Adapun dari sisi yang meminjam karena dalam akad pinjam meminjam itu ada dua pihak, pihak yang meminjamkan dan pihak yang meminjam.
Dari sisi peminjam (orang yang meminjam) maka seperti kata muallif جازت, boleh, hukumnya mubah, tidak sunnah dan juga tidak wajib.
Dan ketika anda lebih memilih untuk tidak meminjam agar anda tidak berada di posisi tangan bawah, anda tidak ingin ada seorang yang memiliki منح, ada seorang yang berhutang budi kepada anda.
Sehingga anda lebih memilih untuk mencukupkan diri dengan nikmat yang telah Allāh berikan kepada anda, dengan harta yang telah Anda miliki, dengan perabot yang anda telah miliki, maka tentu itu lebih utama.
Tetapi ketika anda memang merasa perlu untuk meminjam, kemudian anda meminjam dari tetangga, dari saudara maka itu sesuatu yang mubah.
Catatannya selama ketika anda meminjam bukan dalam rangka menuruti sifat kikir yang ada dalam diri anda. Sebagian orang karena eman (bahasa Jawa), sayang dengan hartanya, sayang dengan asetnya, sayang dengan barangnya (eman-eman).
Lebih baik pinjam saja ini baju masih baru sayang kalau dipakai, pinjam bajunya tetangga. Ini motornya masih bagus, sayang kalau digunakan untuk mengangkut (misalnya) beras, pinjam saja kendaraan tetangga untuk mengangkut beras, padahal punya.
Tapi karena tidak ingin barangnya, asetnya itu (misalnya) tergores atau mungkin cepat rusak atau mungkin barangnya itu agar lebih awet, maka dia lebih memilih untuk meminjam dibanding menggunakan barang-barang milik pribadi.
Pisau yang tajam sayang kalau digunakan nanti cepat tumpul, misalnya, lebih baik pinjam tetangga, biar kalau tumpul pisau tetangga, tidak pisau sendiri. Ini adalah sifat kikir (pelit) dan ini tercela tentunya.
Bisa jadi sampai pada level haram karena salah satu hal yang telah Allāh haramkan sebagaimana ditegaskan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam,
إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ حَرَّمَ عَلَيْكُمْ عُقُوقَ الأُمَّهَاتِ وَوَأْدَ الْبَنَاتِ وَمَنْعًا وَهَاتِ وَكَرِهَ لَكُمْ ثَلاَثًا قِيلَ وَقَالَ وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ وَإِضَاعَةَ الْمَالِ .
[HR Muslim 593f]
“Allāh itu membenci tiga hal dari diri manusia.”
قِيلَ وَقَالَ
“Sibuk dengan gosip, mengadu domba.”
Yang kedua adalah,
وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ
“Mudah meminta, banyak meminta.”
وَإِضَاعَةَ الْمَالِ
“Dan menghambur-hamburkan (menyia-nyiakan harta).”
Dalam hadits lain, Nabi shallallahu alaihi wa sallam juga mencela,
منعًا وهات
Orang yang lebih suka untuk menyimpan, menahan, menyisihkan hartanya, dan dia lebih memilih untuk apa? lebih memilih meminta atau minjam.
Daripada beli sendiri minta sedikit saja sama tetangga, daripada (misalnya) menggunakan milik sendiri, uang sendiri, sayang ini sudah utuh sepuluh juta bulat, seratus juta bulat, kalau kita belanjakan nanti jadi kurang, lebih baik pinjam tetangga, besok kalau sudah dapat gajian atau keuntungan dagang bayar. Padahal dia punya uang.
Meminta tolong, meminta bantuan padahal punya, padahal bisa melakukan sendiri ini adalah cermin adanya sifat الهلع seperti yang Allāh gambarkan dalam surah Al-Ma'ārij: 20-21,
إِذَا مَسَّهُ ٱلشَّرُّ جَزُوعًا ¤ وَإِذَا مَسَّهُ ٱلْخَيْرُ مَنُوعًا
Kalau ditimpa kesusahan, mendapatkan kebutuhan dia berkeluh kesah, sehingga dia mudah minta tolong, minta pinjaman, minta uluran tangan orang lain. Tapi giliran dia mendapatkan kelapangan. Apa yang dilakukan?
مَنُوعًا
Dia begitu (eman) begitu sayang dengan hartanya, dia simpan-simpan, tidak mau gunakan. Ini adalah sifat yang tercela.
Tapi kalau anda meminjam, memang betul membutuhkan. Anda tidak punya, anda sedang dalam kesusahan, (anda betul-betul), bukan dalam rangka untuk (agar harta Anda lebih awet) dan harta saudara anda lebih cepat rusak. Maka betul-betul butuh (sewajarnya) maka itu adalah sesuatu yang mubah.
Tetapi ketika anda lebih memilih untuk menahan diri agar anda bisa senantiasa menjadi orang yang tangannya di atas tidak menjadi tangan yang di bawah maka tentu itu lebih sempurna (mulia). Tetapi, sekali lagi kalau memang butuh maka itu lebih sempurna, lebih baik.
Sampai di sini yang bisa kami sampaikan pada kesempatan kali, kurang dan lebihnya mohon maaf
بالله التوفيق و الهداية
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
Komentar
Posting Komentar