DI-0129- Fiqih Muamalah Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja - ’Āriyah (Peminjaman Barang) Bagian Ketiga

 🌐 WAG Dirosah Islamiyah
Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad

▪🗓 RABU
 | 24 Jumādā al-Ūlā 1443H
 | 29 Desember 2021M

🎙 Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
📗 Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja

🔈 Audio ke-129
📖 ’Āriyah (Peminjaman Barang) Bagian Ketiga
~•~•~•~•~


بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله أما بعد

Anggota grup Dirosah Islamiyah yang semoga senantiasa dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Kita sampai pada pembahasan العارية yaitu peminjaman barang. Al-Muallif rahimahullah al-Imam Abu Syuja' mengatakan:

جازت إعارته إذا كانت منافعه آثارا

Dengan catatan yang kedua, bila manfaat (kegunaan) barang yang dipinjamkan itu adalah sesuatu yang bersifat abstrak atau hak guna semata.

Adapun bila kemanfaatan benda tersebut berupa barang. Anda pinjam sapi untuk diperah, untuk diambil susunya atau Anda pinjam pohon untuk dipetik buahnya. Maka ini tidak disebut dengan ’Āriyah.

• Pinjam sapi atau pinjam kambing untuk diambil susunya disebut dengan Manīhah (منيحة).
• Pinjam pohon untuk diambil buahnya disebut dengan 'Arāyā (عرايا).

Yang disebut dengan Al-’Āriyah (meminjam barang) itu adalah meminjam barang-barang yang manfaatnya berupa hak guna semata.

Seperti Anda:

• pinjam rumah untuk dihuni.
• pinjam kendaraan untuk dikendarai.
• pinjam pakaian untuk dikenakan.
• pinjam kitab untuk dibaca.

Tapi ketika Anda pinjam kambing untuk diambil susunya, atau diambil bulunya, atau pinjam pohon untuk diambil buahnya, atau daunnya. Maka ini disebut akad lain, bisa disebut 'Arāyā (عرايا), bisa disebut dengan Manīhah (منيحة), walaupun semua akad ini dianjurkan. Semua ini termasuk akad sosial.

Tetapi masing-masing memiliki penamaan yang berbeda-beda. Sehingga, walaupun di masyarakat telah terjadi semacam peleburan istilah, semua disebut pinjam pohon, pinjam sapi, pinjam pejantan untuk digunakan untuk mengawini betina, atau pinjam binatang untuk membajak, mengangkut. Semua disebut pinjam.

Tetapi secara penertiban istilah dalam literasi ilmu fiqih masing-masing memiliki penamaan yang berbeda-beda.

Al-Imam Asy-Syeikh Rozy dalam kitab Al-Muhadzab, Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al-Mughni, serta yang lainnya. Mereka ketika membicarakan tentang akad utang piutang, mereka menjelaskan bahwa akad utang piutang itu adalah,

دفع المال  لمن ينتفع به

Yaitu menyerahkan harta baik berupa mata uang atau benda-benda yang lainnya, agar barang yang dipinjamkan tersebut digunakan dengan cara dibelanjakan atau dikonsumsi, dengan dijual, atau dimasak dan kemudian dimakan, atau yang lain. Itu disebut dengan Al-Qardhu

Walaupun masyarakat telah terbiasa menggunakan kata "Pinjam Uang", tetapi sejatinya itu adalah akad Qardh (utang piutang). Sehingga hukum yang berlaku pada peminjaman uang itu adalah hukum Qardhun (utang piutang) bukan hukum ’Āriyah (pinjam meminjam).

Dengan demikian ketika Anda meminjam beras kepada tetangga untuk dimasak dan besok Anda mengembalikan. Ini adalah akad utang piutang, bukan akad pinjam meminjam.

Ini secara penertiban istilah dalam ilmu fiqih karena yang namanya ’Āriyah (peminjaman) itu Anda memanfaatkan barang dengan tetap menjaga fisik barang tersebut, tidak merusakannya.

Sehingga kalau Anda pinjam beras untuk digunakan menimbang, untuk digunakan sebagai cadangan (bukan dimanfaatkan), sekedar untuk dijadikan pembanding saja.

Mana yang lebih bagus mutu berasnya, sebagai sample (contoh) ketika Anda ingin menjalin akad salam (misalnya) agar konsumen bisa mengetahui seperti apa kondisi beras yang akan Anda jual kepada mereka. Maka ini disebut dengan akad ’Āriyah (pinjam meminjam).

Tetapi ketika Anda meminjamkan beras untuk dimasak dan kemudian dikonsumsi, maka ini adalah akad utang piutang. Ketika Anda meminjam sapi untuk digunakan membajak (misalnya) maka ini disebut dengan ’Āriyah (pinjam meminjam).

Tetapi ketika Anda meminjam sapi untuk disembelih kemudian dijual dagingnya atau dikonsumsi dagingnya maka ini disebut dengan akad Qardhun (utang piutang).

Al-Muallif rahimahullāh, di sini mengatakan bahwa yang namanya ’Āriyah itu pemanfaatannya adalah sesuatu yang bersifat abstrak (hak guna saja), kegunaannya abstrak bukan dalam bentuk fisik benda.

Tetapi ketika manfaatnya itu dalam bentuk benda, misalnya pohon diambil buahnya atau daunnya atau rantingnya, atau Anda meminjam sapi untuk diambil susunya, maka ini disebut dengan Manīhah (منيحة) ataupun Al-'Arāyā (عرايا), dan tentu hukumnya berbeda.

Walaupun sebagian ulama mengatakan, bahwa meminjamkan barang yang pemanfaatannya dengan diambil buahnya, diambil susunya, itu masih juga bisa dianggap sebagai 'Ārīyah, walaupun memiliki nama yang berbeda.

Ada yang disebut Manīhah (منيحة) ada yang disebut 'Arāyā (عرايا), tetapi hukumnya masih berlaku sebagai pinjam meminjam.

Kenapa? Karena buah itu atau susu istakhlaf (datang dan pergi), muncul lagi muncul lagi, berbuah lagi berbuah lagi, keluar lagi dan keluar lagi.

Sehingga semua manfaat benda yang tidak habis-habis, diambil muncul lagi, diambil muncul lagi, seperti air dalam sumur, susu di hewan, ataupun bulu yang ada di punggung hewan, ataupun telur ayam atau yang serupa.

Secara hukum menurut sebagian ulama (madzhab Maliki) dan juga itu yang dikuatkan oleh Imam Ibnu Taimiyyah. Dikatakan itu masih bisa dianggap sebagai ’Āriyah dan belum keluar dari koridor ’Āriyah (pinjam meminjam).

Kenapa? Karena, maistahlaf hasil suatu harta yang terus diproduksi dan diproduksi, muncul-muncul, diambil muncul lagi, hukumnya sama dengan Manaafi' (hak guna) sehingga hukumnya masih tetap hukum 'Ārīyah. Ini penjelasan awal tentang masalah ’Āriyah (meminjamkan).

Ada satu hal yang perlu saya garis bawahi, bahwa ’Āriyah itu adalah meminjamkan barang untuk diambil hak gunanya, bukan untuk dimusnahkan, atau dikonsumsi, atau dijual, karena kalau pemanfaatan barang yang dipinjamkan itu dengan cara dikonsumi, atau dijual, atau digunakan membeli, sehingga fisik barangnya akan berganti.

Suatu saat pengembaliannya adalah dengan mengembalikan barang yang senilai atau barang yang serupa, bukan fisik barang yang semula dipinjamkan maka itu semua disebut dengan Al-Qardhu (utang piutang).

Namun hal kedua yang perlu digarisbawahi, bahwa sebagian ulama menganggap bahwa barang yang kegunaannya itu berupa buah, telur ataupun susu yang itu keluar dan diambil keluar lagi, diambil keluar lagi.

Maka itu masih bisa dianggap sebagai ’Āriyah walaupun dalam madzhab Syafi'i tidak disebut dengan ’Āriyah namun disebut dengan Manīhah (منيحة), disebut dengan 'Arāyā (عرايا) ataupun yang lainnya. Sehingga terjadi perbedaan istilah dalam penafsiran apa itu ’Āriyah (pinjam meminjam).

Sampai di sini yang bisa kami sampaikan pada kesempatan kali ini, kurang dan lebihnya mohon maaf.

وبالله التوفيق و الهداية
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•

Komentar