DI-0130- Fiqih Muamalah Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja - ’Āriyah (Peminjaman Barang) Bagian Keempat

 🌐 WAG Dirosah Islamiyah
Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad

▪🗓 KAMIS
 | 25 Jumādā al-Ūlā 1443H
 | 30 Desember 2021M

🎙 Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
📗 Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja

🔈 Audio ke-130
📖 ’Āriyah (Peminjaman Barang) Bagian Keempat
~•~•~•~•~



بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله أما بعد

Anggota grup Dirosah Islamiyah yang semoga senantiasa dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Kita masih bersama pembahasan  العارية  peminjaman barang.

Setelah kita tahu bahwa meminjam barang selama manfaat barang tersebut adalah manfaat yang halal dan menurut Madzhab Syafi'i selama pemanfaatan barang tersebut hanya sebatas hak guna saja, bukan mengambil fisik benda maka itu dianggap sebagai 'Ārīyah yang mubah (boleh).

Tetapi ketika kegunaan barang tersebut dengan cara diambil hasilnya, maka dalam literasi fiqih Syafi'i tidak dikatakan sebagai 'Ārīyah, kenapa?

Karena pemanfaatan benda yang dengan cara mengambil hasilnya, seperti telur,  susu, wol, atau buah, atau bunga, atau yang lainnya, itu dalam fiqih Syafi'i disebut dengan akad lain Ada yang disebut dengan Manīhah (منيحة), ada yang disebut dengan Arāyā (عرايا), ada yang disebut dengan yang lain.

Sehingga pengertian pemahaman al-'Ārīyah (peminjaman barang) dalam madzhab Syafi'i itu dibatasi pada hak guna saja. Dan telah disampaikan pula bahwa namanya pemanfaatan hak guna berarti barang yang dipinjamkan tersebut dapat dikembalikan utuh seperti sedia kala.

Akan tetapi bila barang tersebut yang dipinjam dimanfaatkan dengan cara dimusnahkan, dikonsumsi, diproduksi atau digunakan untuk berbelanja, sehingga ketika jatuh tempo yang dikembalikan bukan fisik barang yang dipinjam, tetapi barang yang serupa atau senilai. Maka dalam literasi ilmu fiqih itu disebut ad-dain atau al-Qardhu.

Al-Imam Asy-Syeikh Rozy beserta yang lainnya mengatakan، bahwa meminjamkan dinar ataupun dirham, meminjamkan uang untuk dibelanjakan itu bukan akad pinjam-meminjam tetapi itu adalah akad  hutang piutang.

Selanjutnya Al-Imam al-muallif، al-Imam Abu Syuja' mengatakan,

وتجوز العارية مطلقة  ومقيدة بمدة

Akad 'Ārīyah itu boleh dilakukan dalam kondisi مطلقة (tanpa batas waktu), kapan saja dikembalikan silakan, kapan saja telah tidak dibutuhkan, maka silakan dikembalikan, kalau masih dibutuhkan silakan dipakai.

Ini dalam madzhab Syafi'i dikatakan boleh, atau peminjaman itu dibatasi dengan waktu. Selama satu pekan, satu jam, satu bulan, setahun, dua tahun, ada batas waktunya.

Dua model ini boleh:
Meminjamkan tanpa batas waktu yang jelas selama masih diperlukan silakan digunakan atau,
Dibatasi dalam batas waktu tertentu.

Kalau Anda bertanya, “Apakah ini tidak menimbulkan gharar (ketidakpastian) akad?”

Maka perlu diketahui bahwa akad 'Ārīyah itu akad yang bersifat jaizah, akad yang tidak mengikat kedua belah pihak. Dengan demikian kedua belah pihak boleh membatalkan akad ini, memutus akad ini kapan pun dia mau selama pemutusan ini tidak menimbulkan kerugian ataupun mencelakakan pihak lain.

Adapun bila pemutusan (penghentian) akad ‘Ārīyah, pinjam meminjam ini menimbulkan kerugian, mencelakakan pihak lain, maka tentu dalam kondisi macam ini tidak boleh dibatalkan, karena Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda,

لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ

Kita tidak dibenarkan untuk لَاضَرَرَ melakukan suatu tindakan yang dapat mencelakakan atau merugikan orang lain, وَلَا ضِرَارَ dan tidak pula dibenarkan untuk membalas perbuatan orang lain dengan cara yang lebih keras, lebih kejam, lebih sadis, lebih berat. Ini cara-cara yang tidak dibenarkan.

Karena pembatalan tersebut dapat menimbulkan kerugian, (misalnya) ada orang pinjam motor kepada Anda untuk pergi ke satu kota di kota sebelah, misalnya.

Anda domisili di Jakarta ada kawan Anda pinjam motor Anda untuk dikendarai ke kota Bogor. Di tengah jalan anda menghubunginya bahwa akadnya batal saya tarik motor tersebut, saya tidak jadi meminjamkan karena saya butuh. Tentu ini menyusahkan saudara kita yang telah meminjam.

Maka pembatalan ini menimbulkan kerugian, mencelakakan saudara anda, maka pembatalan ini dalam rangka memproteksi saudara anda agar tidak celaka, tidak menanggung kerugian maka anda tidak boleh membatalkan dengan cara seperti ini.

Tapi setelah dia sampai di tujuan atau setelah dia kembali maka anda boleh memutus hubungan pinjam-meminjam walaupun tempo waktu yang telah disepakati belum terlalu.

Sebagaimana pihak peminjam, boleh membatalkan akad tersebut walaupun  belum sampai pada tempo waktu yang telah disepakati. Kenapa? Karena 'Ārīyah akad sosial, akad yang tidak mengikat sehingga kedua belah pihak bebas menentukan sikap dan pilihannya kapanpun selama tidak menimbulkan kerugian.

Ini pendapat yang masyhur di kalangan mayoritas ulama termasuk dalam madzhab Syafi'i

Ini yang bisa kami sampaikan pada kesempatan yang berbahagia ini, kurang dan lebihnya saya mohon maaf

بالله التوفيق و الهداية
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•

Komentar