DI-0146 - Fiqih Muamalah Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja - Al-Qirodh atau Mudharabah (Bagi Hasil) Bagian Pertama

 🌐 WAG Dirosah Islamiyah
Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad

▪🗓 JUM’AT
 | 18 Jumādā al-Ākhirah 1443H
 | 21 Januari 2022M

🎙 Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
📗 Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja

🔈 Audio ke-146
📖 Al-Qirodh atau Mudharabah (Bagi Hasil) Bagian Pertama
~•~•~•~•~



بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله أما بعد

Anggota grup Dirosah Islamiyah yang semoga senantiasa dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Setelah selesai menjelaskan dari hukum-hukum Syuf'ah (الشفعة), kemudian al-muallif rahimahullah ta'ala, beliau memasuki pembahasan baru yaitu pembahasan tentang Al-Qirādh (ألقراض), pembahasan tentang bagi hasil atau yang dikenal (familiar) di masyarakat dengan sebutan Mudharabah.

Beliau mengawali pembahasan ini dengan mengatakan:

وللقراض أربعة شرائط

Bahwa dibolehkannya akad Qirādh atau akad Mudharabah (akad bagi hasil), itu harus memenuhi empat kriteria (persyaratan).

Al-Muallif sebagaimana pada bab-bab sebelumnya beliau tidak menyebutkan tentang hukum Qirādh (bagi hasil/mudharabah).

Kenapa? Karena ini satu hal yang sudah maklum (diketahui), familiar di masyarakat. Sehingga beliau tidak merasa perlu untuk menjelaskan bahwa Qirādh itu sesuatu yang mubah (diperbolehkan).

Di sisi lain ketika beliau mengatakan, bahwa Qirādh itu memiliki empat syarat, itu sudah cukup sebagai penjelasan tentang hukum (status) hukum Qirādh atau status hukum Mudharabah. Yaitu sebagai suatu akad yang dibolehkan.

Karena secara logika, kalau kita sudah diajak bicara tentang syarat sahnya, otomatis sesuatu itu sudah selesai (final) tidak perlu dibicarakan, tidak perlu didiskusikan atau diragukan. Tidak layak untuk diragukan tentang kebolehannya karena beliau sudah lebih jauh melangkah berbicara tentang syarat yang sah.

Karena kalau sesuatu itu terlarang, sesuatu itu haram maka apa perlunya kita berbicara tentang syarat sahnya akad tersebut. Maka para ulama tidak pernah berbicara tentang syarat sahnya zina, syarat sahnya minum khamr, syarat sahnya mencuri. Tidak! Syarat sahnya membunuh, tidak!

Karena yang namanya sesuatu terlarang (haram) dilakukan dalam bentuk apa, dengan cara apapun, itu tetap haram. Berbeda dengan sesuatu yang mubah, sesuatu yang مَشْرُوْع (disyari'atkan) atau bahkan sesuatu yang merupakan ibadah.

Maka berlakunya ibadah, diterimanya ibadah atau dibolehkannya sesuatu yang مَشْرُوْع (disyari'atkan) biasanya dipersyaratkan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi. Agar praktiknya itu tidak keluar dari tuntunan syariat dan tidak menyimpang dari keteladan kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alayhi wa sallam.

Para fuqaha (ahli fiqih) menjelaskan: Bahwa akad Qirādh, akad Mudharabah itu satu akad yang dibolehkan bahkan sudah turun temurun sejak sebelum Islam datang. Masyarakat sudah mengenal adanya akad Mudharabah (bagi hasil).

Sehingga ketika Islam datang, Islam tidak lagi perlu menjelaskan tentang bolehnya Qirādh, sebagaimana Islam tidak perlu menjelaskan tentang bolehnya bercocok tanam, tentang bolehnya membangun rumah, tentang bolehnya makan dan minum.

Kenapa demikian? Karena semua itu sudah ada dan sudah dipraktikkan sejak jauh-jauh hari sebelum Islam datang. Dan bahkan secara aplikasi Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam telah menerapkannya sejak beliau sebelum menjadi Nabi, dan bahkan setelah beliau menjadi Nabi pun, beliau masih membiarkan (merestui) praktik ini dilakukan oleh para sahabatnya.

Sehingga secara tinjauan teoritis (keilmuan) untuk apa menjelaskan sesuatu yang sudah dilaksanakan oleh Nabi, direstui oleh Nabi. Para sahabatnya direstui untuk menerapkan praktik semacam ini?

Para ahli sirah (misalnya) menjelaskan bahwa perdagangan yang dijalankan oleh Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam, ketika beliau bekerja sama dengan Khadijah radhiyallahu 'anhā sebelum beliau menjadi Nabi, sebelum beliau menjadi suami Khadijah.

Khadijah mempercayakan perdagangannya ke negeri Syam untuk dikelola oleh Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam. Para ahli sejarah mengatakan, bahwa skema kerja sama antara Nabi dengan Khadijah kala itu adalah dengan menggunakan skema Mudharabah (bagi hasil).

Sebagaimana praktik perdagangan orang-orang Quraish yang Allāh ceritakan:

 لِإِیلَـٰفِ قُرَیۡشٍ ۞  إِۦلَـٰفِهِمۡ رِحۡلَةَ ٱلشِّتَاۤءِ وَٱلصَّیۡفِ [ القريش :١-٢]

“Orang-orang Quraisy memiliki dua perdagangan. Perdagangan ke negeri Syam di musim panas, perdagangan ke negeri Yaman di musim dingin.”

Ketika musim dingin tiba, kisaran di bulan November, Desember, Januari di negeri Arab sedang berlangsung musim dingin.

Di kota Madinah, dingin kota Madinah dalam beberapa waktu bisa mencapai 2 derajat dan di negeri Syam (Palestina, Suriah dan yang serupa) di bulan-bulan tersebut bisa jadi sampai turun salju.

Sedangkan kita tahu orang-orang Quraisy (orang-orang Mekkah), itu orang-orang yang tinggal di negeri yang panas (gurun). Tentu akan sangat berat bagi mereka kalau harus pergi ke negeri Syam di musim dingin.

Karenanya ketika musim dingin mereka mengambil alternatif lain berdagang ke negeri Yaman yang sama-sama negeri tropis (panas) sehingga (orang-orang) Quraisy lebih bisa beradaptasi di negeri panas dibandingkan di negeri dingin.

Ketika musim panas tiba maka (orang-orang) Quraisy berdagang ke negeri Syam, dan kala itu para kafilah dagang yang berdagang ke negeri Syam atau ke negeri Yaman, mereka menggunakan skema Mudharabah.

Karena tidak semua orang Quraisy pergi ke Yaman ataupun ke Syam dalam berdagang, tetapi ada beberapa orang saja yang mereka utus (mewakili) yang lain untuk menjalankan perdagangan ke negeri Yaman ataupun ke negeri Syam (Palestina dan sekitarnya).

Sebagaimana yang terjadi ketika Abu Sufyan sebelum dia masuk Islam. Suatu hari dia pergi dengan membawa perdagangan orang-orang Quraisy. Modalnya dan barang dagangannya orang-orang Quraisy dibawa untuk berdagang ke negeri Syam.

Namun di tengah jalan sepulang mereka dari berdagang, setelah membawa uang yang banyak (keuntungan yang besar). Mereka dicegat oleh pasukan kaum muslimin dibawah kepemimpinan Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam. Kemudian akhirnya itu menjadi kisah awal terjadinya perang Badr.

Orang-orang Quraisy di bawah kepemimpinan Abu Jahl, mereka semuanya berbondong-bondong menghunus senjata, membawa senjata perlengkapan perang. Kenapa semua begitu mudah dimobilisasi oleh Abu Jahl untuk pergi ke negeri Badr?

Karena mereka masing-masing berkepentingan menjaga, menyelamatkan hasil perdagangan mereka yang dibawa (dikelola) oleh Abu Sufyan. Itu semua bukti.

Terlebih lagi banyak ahli fiqih yang kemudian menyatakan telah terjadi ijma', konsensus, kesepakatan para ulama tentang bolehnya disyari'atkannya akad bagi hasil ataupun yang dikenal dengan akad Mudharabah.

Dan untuk penjelasan lebih lanjutnya, insyaAllah akan kita sampaikan pada sesi yang akan datang. Kurang dan lebihnya saya mohon maaf dan kita akhiri perjumpaan kita di kesempatan kali dengan kafaratul majelis.

سبحانك اللهم وبحمدك أشهد إن لا إله إلا أنت استغفرك وأتوب إليك
و السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•

Komentar