DI-0149 - Fiqih Muamalah Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja - Al-Qirodh atau Mudharabah (Bagi Hasil) Bagian Keempat - Syarat Pertama (Lanjutan)
🌐 WAG Dirosah Islamiyah
Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad
▪🗓 RABU
| 23 Jumādā al-Ākhirah 1443H
| 26 Januari 2022M
🎙 Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
📗 Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja
🔈 Audio ke-149
📖 Al-Qirādh atau Mudharabah (Bagi Hasil) Bagian Keempat – Syarat Pertama (Lanjutan)
~•~•~•~•~
بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمدلله و صلاة وسلم على رسول الله أما بعد
Anggota grup Dirosah Islamiyah yang semoga senantiasa dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Masih bersama pembahasan tentang Al-Qirādh (القراض) atau yang lebih familiar di kita dengan sebutan Al-Mudharabah atau Bagi Hasil.
Kalau kita cermati, kita pikirkan ulang sesuai dengan konteks kehidupan di zaman modern ini, apa yang diutarakan bahwa dengan modal tersetor berupa uang tunai, itu akan mencegah terjadinya fluktuasi nilai dan menghindari adanya sengketa. Hal ini ternyata di zaman sekarang tidak lagi relevan.
Kenapa demikian? Karena adanya inflasi dan deflasi, adanya penyusutan nilai uang atau daya beli mata uang dan adanya peningkatan nilai aset atau nilai barang.
Dulu satu uang Rupiah, misalnya Rp 600,- dulu itu senilai dengan satu dolar Amerika. Dan dengan mata uang Rp 600,- kala itu Anda bisa mendapatkan sekian liter bensin. Tetapi saat ini Rp 600,- , anda tidak dapat apa-apa, karena telah terjadi inflasi.
Maka alasan yang diutarakan oleh para fuqaha tersebut boleh dikata itu alasan yang bersifat sementara, karena tidak permanen. Yang kedua itu hanya sebatas upaya pencegahan.
Sedangkan di zaman sekarang dengan membatasi modal itu dalam bentuk mata uang tidak lagi efektif untuk mencegah terjadinya pertambahan ataupun penyusutan nilai. Karena ternyata mata uang di zaman sekarang juga ternyata mengalami penyusutan nilai (fluktuasi nilai).
Karena itu sebagian ulama, misalnya Al-Laits ibn Sa'ad dan yang lainnya berpendapat bahwa, "Tidak mengapa menjalin kerjasama mudharabah (bagi hasil) dengan modal berupa aset, namun yang dijadikan acuan dalam modal tersebut adalah nilai jual aset tersebut di saat akad mudharabah dilangsungkan".
Misalnya, Anda bisa saja bekerjasama dengan skema mudharabah (bagi hasil) dengan modal tersetor berupa sebidang tanah, namun yang dijadikan acuan modal itu bukan sebidang tanahnya, tetapi nilai jual sebidang tanah tersebut harus disepakati alias dibunyikan dalam bentuk uang.
Dengan modal tersetor berupa satu petak tanah di jalan A, B, C dan demikian, terperinci alamatnya, yang dikonversi dalam bentuk rupiah, dikonversi senilai misalnya Rp 200.000.000,-
Sehingga ketika nanti setelah kerjasama pengelola memutar modal tersebut karena tentu bisa jadi asetnya itu dijual atau asetnya itu dibangun dalam bentuk bangunan untuk dijadikan sebagai tempat usaha.
Maka pada saatnya nanti ketika kerjasama ini ingin diakhiri maka pengembaliannya bukan dalam bentuk tanah tetapi pengembaliannya dalam bentuk nilai tanah tersebut yaitu senilai 200 juta (misalnya). Karena itulah nilai yang disepakati ketika akad bagi hasil pertama kali dilangsungkan.
Pendapat ulama Al-Laits ibn Sa'ad ini wallahu ta'ala 'alam, lebih bisa dikatakan lebih relevan dengan praktik bagi hasil (mudharabah) yang ada di zaman sekarang. Lebih relevan dengan praktik masyarakat terlebih secara tinjauan dalil, tidak ada dalil yang spesifik dalam Al-quran ataupun Hadits ataupun ijma' para ulama yang mengharuskan atau mempersyaratkan bahwa modal yang disetorkan dalam bagi hasil itu harus dalam bentuk mata uang tunai.
Karena tidak ada dalil yang spesifik, padahal kita tahu bersama bahwa hukum asal perniagaan, hukum asal kerjasama itu adalah halal.
الأصل في المعاملات الحل
“Hukum asal dalam hal perniagaan itu adalah halal.”
حتى يأتي الدليل على التحريم
“Sampai ada dalil yang tidak terbantahkan, dalil yang jelas, lugas dan valid atau shahih yang mengharamkan transaksi tersebut.”
Selama tidak ada dalil yang dengan jelas melarang, apalagi yang ada hanya faktor upaya untuk mencegah terjadinya sengketa, mencegah terjadinya perbedaan, persepsi atau penilaian maka upaya tersebut pantas untuk kemudian dikaji ulang.
Apakah mempersyaratkan modal itu harus dalam bentuk Dinar dan Dirham itu masih relevan, atau masih ada cara lain yang sama-sama mencegah atau bisa mewujudkan tujuan yang sama yaitu bisa mencegah terjadinya sengketa, perbedaan persepsi, dan itu sejalan dengan konteks kehidupan yang modern.
Kalau ternyata ada, kenapa tidak. Kalau ternyata ada cara lain yaitu dengan menggunakan nilai jual aset, maka tentu mempertahankan pendapat bahwa mudharabah harus dengan modal tersetor dalam bentuk Dinar dan Dirham itu tentu tidak lagi relevan.
Karena memang dalam ilmu fiqih telah digariskan satu kaidah, dan ini merupakan satu dari lima kaidah primer dalam ilmu fiqih, bahwa
العادة محكمة
Suatu tradisi itu bisa dijadikan sebagai dasar dalam penetapan hukum.
Sebagaimana para ahli fiqih juga telah menggariskan satu kaidah
لا ينكر تغير الأحكام بتغيرالعادة
Tidak perlu risau, heran kalau terjadi perubahan hukum seiring dengan perubahan pola dan gaya hidup masyarakat.
Kenapa? Karena hukum-hukum tersebut ternyata ditetapkan oleh para ulama berdasarkan fakta dan praktik yang ada di masyarakat, sehingga ketika praktik di masyarakat telah terjadi pergeseran, perubahan maka tentu tidak relevan mempertahankan hukum yang ternyata dasar dan pijakannya telah berganti.
Misalnya, sebagai contoh para ulama terutama yang tinggal di negeri Arab mereka berfatwa bahwa, zakat fitri itu dikeluarkan dalam bentuk kurma ataupun gandum.
Kenapa? Karena itu berdasarkan fakta yang ada di masyarakat setempat bahwa mereka makanan pokoknya berupa kurma ataupun gandum, bahkan sebagian ulama mengatakan boleh dikeluarkan dalam bentuk midhir (susu kering) karena memang mereka para penggembala. Sehingga mereka terbiasa mengkonsumsi susu kering sebagai makanan pokoknya.
Tetapi tentu itu tidak relevan dengan masyarakat kita Indonesia yang makanan pokoknya berupa beras, sehingga tentu tidak bijak kalau kita mengeluarkan zakat fitri di negeri Indonesia dengan kurma ataupun gandum ataupun susu kering.
Apa alasannya? Karena itu tidak relevan dengan budaya yang ada di Indonesia. Sedangkan fatwa para ulama yang mengatakan, "Boleh mengeluarkan zakat fitri dalam bentuk kurma, gandum ataupun susu kering itu dibangun di atas tradisi dan budaya yang berlaku di masyarakat Arab kala itu".
Sadangkan sekarang di negeri kita, maka tentu yang lebih relevan dengan fakta dan tradisi adalah mengeluarkan zakat fitri dalam bentuk apa? Bisa dalam bentuk beras, bisa dalam bentuk jagung, bisa dalam bentuk sagu, sebagaimana itu menjadi makanan pokok di sebagian daerah di negeri kita.
Sehingga kesimpulannya, tidak mengapa mengadakan kerjasama bagi hasil dengan modal berupa aset, namun aset tersebut harus dikonversi dalam bentuk nilai jualnya.
Sehingga misalnya ketika anda memiliki 1 unit kendaraan untuk dijadikan sebagai modal usaha rental kendaraan maka anda boleh membangun kerjasama tersebut, sehingga nanti ketika ada hasil maka hasil itu akan dimiliki bersama.
Seperti misalnya, anda kerjasama dengan seseorang untuk mengadakan unit usaha berupa tempat pengisian ulang air minum. Tentu di situ ada aset, ada alat-alat dan juga ada uang.
Sehingga anda boleh bunyikan dalam kerjasamanya ➟ dengan modal tersetor berupa 1 unit mesin pompa, satu filter, begini dan begini, yang nilainya (misalnya) sebesar 30 juta, dan juga dalam bentuk uang tunai sebesar Rp 10.000.000,- (misalnya).
Alias total modalnya 40 juta, 30 juta tersetor dalam bentuk aset (barang) dan 10 juta dalam bentuk uang tunai.
Sehingga suatu saat ketika terjadi pecah kongsi, anda ingin mengakhiri kerjasama ini, maka anda sebagai pengelola boleh mengembalikan dalam bentuk uang tunai sebesar 40 juta, walaupun dulu yang disetorkan dalam bentuk aset tapi itu sudah dikonversi dalam nilai jualnya.
Wallāhu Ta'āla A'lam.
Sampai jumpa di lain kesempatan.
بالله التوفيق والهداية
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
Komentar
Posting Komentar