DI-0151 - Fiqih Muamalah Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja - Al-Qirodh atau Mudharabah (Bagi Hasil) Bagian Keenam - Syarat Ketiga
🌐 WAG Dirosah Islamiyah
Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad
▪🗓 JUM’AT
| 25 Jumādā al-Ākhirah 1443H
| 28 Januari 2022M
🎙 Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
📗 Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja
🔈 Audio ke-151
📖 Al-Qirādh atau Mudharabah (Bagi Hasil) Bagian Keenam – Syarat Ketiga
~•~•~•~•~
بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمدلله و صلاة وسلم على رسول الله أما بعد
Anggota grup Dirosah Islamiyah yang semoga senantiasa dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Masih bersama tema Al-Qirādh (القراض) atau Al-Mudharabah atau Bagi Hasil. Al-muallif rahimahullahu ta’ala mengatakan,
أوفيما لا ينقطع وجوده غالبا
Di antara kriteria atau syarat dibolehkannya Al-Qirādh (mudharabah) adalah kerjasama bagi hasil itu dilakukan dalam perdagangan, jual beli pada komoditi barang-barang yang selalu ada di pasaran, bukan barang langka.
Sehingga dalam literasi madzhab Syafi'i, kalau kerjasama bagi hasil itu dalam perdagangan barang-barang langka yang keberadaannya sangat terbatas, baik jumlahnya atau waktu keberadaannya maka tidak dibenarkan.
Kenapa? Karena barang-barang yang langka, jarang wujudnya, jarang adanya di masyarakat akan menjadikan peluang mendapatkan keuntungan itu menjadi sempit. Padahal tujuan dari disyariatkannya akad mudharabah adalah untuk mendapatkan keuntungan dan kemudian berbagi keuntungan tersebut.
Sehingga ini menjadikan adanya unsur gharar, di mana pengusaha atau pelaku usaha dia berusaha bekerja mengeluarkan energi, waktu, tenaganya untuk mencari barang, namun akhirnya tidak mendapatkan dan akhirnya tidak mendapatkan keuntungan, tentu ini adalah gharar.
Demikian sudut pandangan madzhab Al-Imam Syafi'i rahimahullah ta'ala.
Namun kalau kita kaji lebih lanjut, adakah dalil yang membatasi ruang mudharabah hanya dalam barang-barang yang selalu ada di masyarakat dan keberadaan barang tersebut didapat dalam jumlah yang melimpah (tidak terbatas) maka kita akan temui di literasi-literasi fiqih Syafi’i.
Kita akan dapatkan itu hanya sebatas istinbath, upaya preventif dalam madzhab Syafi'i agar tidak terbuka ruang gharar, ruang gambling, ruang terjadinya praktek kedzaliman dimana pengusaha sudah berusaha bekerja namun kemudian stok barang habis, stock barang tidak ada di pasaran akhirnya tenaga dia terbuang tanpa mendapatkan hasil.
Namun karena tidak ada dalil yang spesifik baik dari Al-Quran, ataupun as-sunnah, atau dari ijma, yang ada hanya sebatas makna (معنى), من المعنى
Hanya upaya, asumsi (persepsi) para ahli fiqih as Syafi'i yang mereka mengasumsikan bahwa dengan adanya persyaratan ini maka ruang gharar itu tertutup, dimana pengusaha ketika menjalankan kesepakatan ini tidak gambling, kesempatan mendapatkan keuntungan terbuka lebar
Ini ternyata, karena sekali lagi tidak ada dalil yang spesifik maka kita kembalikan kepada dalil-dalil yang umum.
Kalau memang ada alasan tentu pemodal dengan pengusaha sama-sama mengetahui konsekuensi perbuatannya. Ketika ada kesepakatan agar permodalan ini dilakukan dalam perdagangan barang-barang yang mereka sepakati bersama, mereka paham konsekuensi dari persyaratan tersebut.
Bahwa misalnya, kerjasamanya itu hanya jual beli kambing kurban selama musim idul adha saja, ada batasan waktu, barangnya melimpah, maka tentu tidak ada masalah, atau pada barang yang ketersediaannya terbatas tetapi bukan berarti tidak ada.
Karena apa? Hanya satu musim atau barang-barang yang memang tidak banyak, mulai terbatas (misalnya) kendaraan, mobil-mobil antik (misalnya), yang memang terbatas jumlahnya.
Atau buah-buahan yang adanya musiman, hanya ada di musim tertentu saja. Jual beli kurma muda hanya ada di musim panen. Atau jual beli buah-buahan yang musiman, seperti durian adanya di musim tertentu, mangga adanya di musim tertentu. Maka hukum asalnya tidak ada masalah karena Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda,
الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ
Hukum asalnya setiap kaum muslimin itu berkewajiban komitmen memenuhi, mengindahkan dan menjalankan persyaratan dan kesepakatan yang telah dicapai.
Dan hukum asal dalam perdagangan adalah halal
وَاَحَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ
Allah menghalalkan transaksi jual beli [QS Al-Baqarah: 275]
Transaksi komersial selama tidak ada dalil yang spesifik, maka idealnya kita tidak mengharamkannya. Namun ini adalah perbedaan persepsi dan itu wajar dikalangan para ahli fiqih. Memang kita harus mengakui, kemudian sadar bahwa tidak ada manusia, baik secara perorangan ataupun berkelompok yang sempurna bebas dari kekurangan.
Karena itu ketika kita komparasikan, kita banding-bandingkan antara madzhab, maka kita akan temukan ke semua madzhab, baik madzhab Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hambali, Zhahiri atau yang lainnya, kita akan dapatkan masing-masing madzhab itu ada kelebihan dan ada kekurangan.
Al-imam Ibnu Taimiyyah misalnya, dengan keluasan ilmu beliau dan kekuatan analisa serta hafalan beliau. Beliau melakukan satu kajian perbandingan (komparasi) antara madzhab. Beliau menemukan bahwa masing-masing madzhab ini memiliki kelebihan yang berbeda-beda
Kelebihan madzhab al-Hanafi didapatkan pada pembahasan tentang peradilan. Beliau menyimpulkan bahwa pendapat-pendapat madzhab Hanafi dalam hal peradilan lebih bagus, lebih terstruktur, lebih terkonsep, dan lebih relevan dengan fakta yang ada di masyarakat. Dan secara tinjauan dalil lebih kuat dibanding madzhab yang lainnya
Madzhab Maliki didapatkan oleh beliau, madzhab Maliki memiliki kelebihan dalam hal muamalah (pembahasan tentang perniagaan) secara umum, hukum-hukum muamalah secara umum.
Kenapa? Karena Imam Malik hidup di kota Madinah, beliau menimba ilmu dari seorang tokoh senior di zamannya yaitu Said Ibnu Sayyid. Dan Masjid Nabawi itu bersebelahan dengan pasar, sehingga Imam Malik selalu berinteraksi dengan para pedagang.
Dengan demikian pembahasan-pembahasan muamalah (transaksi perniagaan) dalam madzhab Maliki itu lebih realistis dengan fakta, sehingga kajian-kajian yang beliau lakukan, istinbath pendalilan serta fatwa yang beliau terbitkan itu lebih relevan dengan fakta para pedagang dan juga sesuai dengan dalil. Karena memang itu kehidupan beliau, berinteraksi terus dengan para pedagang dari berbagai kalangan.
Madzhab Al-Imam Asy Syafi’i, Imam Asy-Syafi'i hidup di kota Mekah dalam satu fase kemudian hidup di Irak dan terakhir di Mesir. Menurut analisa Imam Ibnu Taimiyyah, madzhab Al Imam Asy Syafi’i dalam hal ibadah-ibadah praktis jauh lebih bagus, lebih terstruktur, lebih terkonsep dan lebih kuat secara tinjauan dalil dibanding madzhab-madzhab yang lain.
Karena Al Imam Asy Syafi’i rahimahullah banyak belajar dari para praktisi ibadah, semisal Sufyan ibn Uyainah. Semasa beliau di Mekah, beliau banyak berguru kepada Al Imam Sufyan bin Uyainah serta yang semisal dengan beliau, para pakar ibadah.
Sehingga imam-imam para ulama ahli ibadah yang banyak ada di Kota Mekah Imam Syafi’i banyak menimba dari mereka. Sehingga beliau betul-betul menguasai berbagai hukum yang berkaitan dengan ibadah-ibadah praktis.
Dan Imam Ahmad bin Hambal yang beliau berusaha menggabungkan berbagai madzhab ini, beliau berguru kepada Imam Syafi’i, beliau berguru kepada ahli hadits, banyak pakar ahli hadits yang mereka ujung-ujungnya juga berguru kepada Imam Malik serta yang lain.
Beliau juga banyak menimba dari ulama-ulama yang tinggal di Irak, karena Imam Ahmad bin Hambal tinggal di kota Baghdad. Sehingga beliau banyak mengambil pelajaran, berusaha merangkum berbagai kelebihan tersebut. Walaupun bukan berarti madzhab Imam Ahmad paling bagus dalam semua hal.
Sebagaimana bukan berarti semua pendapat Imam Malik dalam masalah muamalah itu pasti lebih baik, lebih kuat, tidak demikian pula. Tetapi tinjauan secara global seperti itu yang disimpulkan oleh al-Imam Ibnu Taimiyyah rahimahullah
Kembali kepada tema kita, mensyaratkan bahwa bagi hasil itu hanya boleh pada barang-barang yang selalu ada sepanjang tahun, keberadaannya juga banyak, bukan barang-barang yang langka, yang limited edition, tidak! Ini kalau ditanya ditinjau secara dalil, maka kita tidak temukan.
Maka karena tidak ada dalil yang spesifik dan kemudian bila didapatkan di lapangan bahwa ada alasan yang ingin dicapai oleh kedua belah pihak, pemodal ataupun pengusaha ketika mereka berkomitmen untuk perdagangan dalam barang-barang yang limited edition, terbatas jumlahnya, terbatas musimnya.
Maka tidak ada yang melarang karena memang tidak ada dalil yang melarang itu. Sedangkan hukum asal perniagaan itu adalah halal.
Sehingga kalau memang ada alasan, dan memang ada kesepakatan masing-masing tahu konsekuensi dari keterbatasan barang tersebut dan kemudian mereka sepakat untuk berdagang hanya pada barang-barang itu, maka tidak ada alasan untuk melarangnya.
Ini yang bisa kami sampaikan pada kesempatan kali ini, kurang dan lebihnya mohon maaf.
بالله التوفيق والهداية
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
Komentar
Posting Komentar