Keluarga Besar Nabi - 'Abdul Muthalib

 2. 'Abdul Muththalib

Dari pembahasan yang telah lalu kita telah mengetahui bahwa tanggung jawab atas penanganan siqayah dan rifâdah sepeninggal Hasyim diserahkan kepada saudaranya yang bernama al-Muththalib bin Abdu Manaf (Dia adalah seorang bangsawan yang disegani dan memiliki kharisma di kalangan kaumnya. Orang-orang Quraisy menjulukinya dengan al-Fayyadh karena kedermawanannya -sebab makna kata 'al-Fayyadh' adalah orang yang dermawan, murah hati-penj.). Ketika Syaibah alias 'Abdul Muththalib menginjak usia 7 tahun atau 8 tahun lebih, al-Muththalib, pamannya mendengar berita tentang dirinya lantas pergi mencarinya. Ketika bertemu dan melihatnya, berlinanglah air mata al-Muththalib, lalu anak tersebut dipeluk erat-erat dan dinaikkan ke atas tunggangannya untuk dibonceng namun keponakannya ini menolak hingga diizinkan dahulu oleh ibunya. Pamannya, al-Muththalib, kemudian memintanya agar merelakan keponakannya tersebut pergi bersamanya tetapi ibunya menolak permintaan tersebut. Al-Muththalib lantas bertutur, "Sesungguhnya dia akan berangkat menuju tahta ayahnya (Hasyim), menuju Tanah Haram.” Barulah kemudian ibunya mengizinkan anaknya dibawa.

Al-Muththalib membawanya ke Mekkah dengan memboncengnya di atas onta. Melihat hal itu, orang-orang berteriak, "Inilah 'Abdul (budak) Muththalib!” (maksudnya, mereka mengira yang dibawa al-Muththalib bukan keponakannya tapi budaknya-penj.). Al-Muththalib memotong sembari berkata, "Celakalah kalian! Dia ini anak saudara-ku, Hasyim." 'Abdul Muththalib akhirnya tinggal bersama pamannya hingga tumbuh dan menginjak dewasa. Selanjutnya al-Muthithalib meninggal di Rodman, sebuah kawasan di Yaman dan kekuasaannya kemudian beralih kepada keponakannya, 'Abdul Muththalib. Dia menggariskan kebijakan terhadap kaumnya persis seperti yang digarikan oleh nenek-nenek moyangnya terdahulu akan tetapi dia mendapatkan kedudukan dan martabat di hati kaumnya yang belum pernah dicapai oleh nenek-nenek moyangnya terdahulu, dia dicintai oleh mereka dan wibawanya di hati mereka semakin besar.

Ketika al-Muththalib meninggal dunia, Naufal menyerobot dan merampas mahkota kekuasaan keponakannya tersebut. Karena itu, dia lantas meminta pertolongan kepada para pemuka Quraisy untuk membantunya melawan sang paman. Namun mereka menolak sembari berkata, "Kami tidak akan mencampuri urusanmu dengan pamanmu itu." Akhirnya dia menulis beberapa untaian sya'ir kepada paman-pamannya dari pihak ibunya, Bani an-Najjar, guna memohon bantuan mereka. Pamannya, Abu Sa'd bin 'Adiy bersama delapan puluh orang pasukan penunggang kuda kemudian berangkat menuju Mekkah dan singgah di al-Abthah, sebuah tempat di kota Mekkah. Dia disambut oleh 'Abdul Muththalib yang langsung bertutur kepadanya, "Silahkan mampir ke rumah dahulu, wahai paman!" Paman-nya menjawab, "Demi Allah, aku tidak akan mampir hingga bertemu dengan Naufal”, lantas dia mendatanginya dan mencegatnya yang ketika itu sedang duduk-duduk di dekat Hijr Isma'il bersama para sesepuh Quraisy. Abu Sa'd langsung menghunus pedangnya seraya mengancam, "Demi Rabb rumah ini (Ka'bah)! Jika engkau tidak mengembalikan kekuasaan keponakanku maka aku akan menancapkan pedang ini ke tubuhmu." Naufal berkata, "Aku serahkan kembalikan kepadanya!" Ucapannya ini disaksikan oleh para sesepuh Quraisy tersebut. Kemudian barulah dia mampir ke rumah 'Abdul Muththalib dan tinggal di sana selama tiga hari. Selama di sana, dia melakukan umrah (ala kaum Quraisy dahulu sebelum kedatangan Islam-penj.) kemudian pulang ke Madinah. Menyikapi kejadian yang dialaminya tersebut, Naufal akhirnya bersekutu dengan Bani Abdi Syams bin Abdi Manaf untuk menandingi Bani Hasyim. Suku Khuza'ah tergerak juga untuk membela 'Abdul Muththalib setelah melihat pembelaan yang diberikan oleh Bani an-Najjar terhadapnya. Mereka berkata (kepada Bani an-Najjar), "Kami juga melahirkannya (yakni, keturunan kami juga-penj.) seperti kalian, namun kami justru lebih berhak untuk membelanya.” Hal ini lantaran ibu dari 'Abdi Manaf merupakan salah satu keturunan mereka. Mereka lalu memasuki Darun Nadwah dan bersekutu dengan Bani Hasyim untuk melawan Bani 'Abdi Syams dan Naufal. Persekutuan inilah yang kemudian menjadi sebab penaklukan Mekkah sebagaimana yang akan dijelaskan nanti.'

Ada dua momentum besar yang dialami oleh Baitullah di masa 'Abdul Muththalib:
Pertama, Penggalian sumur Zamzam.
Kedua, kedatangan pasukan gajah.

Ringkasan momentum pertama, 'Abdul Muththalib bermimpi dirinya diperintahkan untuk menggali zamzam dan dijelaskan kepadanya di mana letaknya, lantas dia melakukan penggalian (sesuai dengan petunjuk mimpi tersebut-penj.) dan menemukan di dalamnya benda-benda terpendam yang dulu sempat dikubur oleh suku Jurhum ketika mereka akan keluar meninggalkan Mekkah. Benda-benda tersebut berupa pedang-pedang, tameng-tameng besi (baju besi) dan dua pangkal pelana yang terbuat dari emas. Pedang-pedang kemudian dia tempa untuk membuat pintu Ka'bah, sedangkan dua pangkal pelana tersebut dia tempa menjadi lempengan-lempengan emas dan ditempelkan di pintu tersebut. Dia juga memberi minum jama'ah haji dengan air zamzam.

Ketika sumur zamzam mulai kelihatan, orang-orang Quraisy mempermasalahkannya. Mereka berkata kepadanya, "Izinkan kami bergabung!" Dia menjawab, "Aku tidak akan melakukannya sebab ini merupakan sesuatu yang khusus diberikan kepadaku.” Mereka tidak tinggal diam begitu saja tetapi menggelar permasalahannya ke sidang pengadilan yang dipimpin oleh seorang dukun wanita dari Bani Sad, di pinggiran negeri Syam. Namun dalam perjalanan mereka ke sana, bekal air habis, lalu Allah menurunkan hujan untuk Abdul Muththalib sementara tidak setetes pun tercurah untuk mereka. Mereka akhirnya mengetahui bahwa urusan zamzam telah dikhususkan untuk 'Abdul Muththalib sehingga mereka memutuskan untuk pulang. Saat itulah 'Abdul Muththalib bernadzar bahwa jika Allah mengaruniakan kepadanya sepuluh orang anak dan mereka sudah menginjak usia baligh, dia akan menyembelih salah seorang dari mereka di sisi Ka'bah.

Ringkasan momentum kedua, ketika Abrahah ash-Shabbah al-Habasyiy, wakil umum an-Najasyi atas negeri Yaman melihat orang-orang Arab melakukan haji ke Ka'bah, dia membangun gereja yang amat megah di kota Shan'a'. Tujuannya, agar orang-orang Arab mengalihkan haji mereka ke sana. Niat buruk ini didengar oleh seorang yang berasal dari Bani Kinanah. Dia secara diam-diam mengendap-endap pada malam hari dan menerobos masuk ke gereja tersebut, lalu melumuri kiblat mereka tersebut dengan kotoran.

Tatkala mengetahui pelecehan ini meledaklah amarah Abrahah dan sertamerta dia mengerahkan pasukan besar yang berkekuatan sebanyak 60.000 personil menuju Ka'bah untuk meluluhlantakannya. Dia juga memilih gajah paling besar sebagai tunggangannya. Dalam pasukan tersebut terdapat sembilan atau tiga belas ekor gajah yang lain. Dia meneruskan perjalanannya hingga sampai di suatu tempat bernama al-Mughammas, di tempat inilah dia memobilisasi pasukannya, menyiagakan gajahnya dan bersiap-siap untuk melakukan invasi ke kota Mekkah. Akan tetapi baru saja mereka sampai di Wadi Mahsir (Lembah Mahsir) yang terletak antara Muzdalifah dan Mina, tiba-tiba gajahnya berhenti dan duduk. Gajah ini tidak mau berdiri bila dikendalikan ke arah Ka'bah akan tetapi bila mereka kendalikan ke arah selatan, utara atau timur, ia mau maju dan berlari kecil, sedangkan bila mereka alihkan kendalinya ke arah Ka'bah lagi, gajah tersebut duduk. Manakala mereka mengalami kondisi semacam itu, Allah mengirimkan ke atas mereka burung-burung yang berbondong-bondong sembari melempari mereka dengan batu yang terbuat dari tanah yang terbakar. Lalu Allah menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat). Burung tersebut semisal khatháthif (burung layang-layang) dan balasân (pohon murbey). Setiap burung melempar tiga buah batu; sebuah diparuhnya, dan dua buah lagi di kedua kakinya sebesar kerikil. Tidaklah lemparan batu tersebut mengenai seseorang melainkan akan menjadikan anggota-anggota badannya berkeping-keping dan binasa. Tidak semua dari mereka terkena lemparan tersebut; ada yang dapat keluar melarikan diri tetapi mereka saling berdesakan satu sama lainnya sehingga banyak yang jatuh di jalan-jalan lantas mereka binasa terkapar di setiap tempat. Sedangkan Abrahah sendiri, Allah kirimkan kepadanya satu penyakit yang membuat sendi jari-jemari tangannya tanggal dan berjatuhan satu per satu. Sebelum mencapai Shan'a', dia tak ubahnya seperti seekor anak burung yang dadanya terbelah hingga terlihat jantungnya, untuk kemudian dia roboh tak bernyawa.

Adapun kondisi orang-orang Quraisy, mereka berpencar-pencar ke celah-celah bukit dan bertahan di puncak-puncaknya karena merasa takut atas keselamatan mereka dan dipermalukan oleh tentara bergajah tersebut. Manakala pasukan tersebut telah mengalami kejadian tragis dan mematikan tersebut, mereka turun gunung dan kembali ke rumah masing-masing dengan rasa penuh aman.'

Peristiwa tragis tersebut terjadi pada bulan Muharram, 50 hari atau 55 hari (menurut pendapat mayoritas) sebelum kelahiran Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam . Dalam kalender masehinya bertepatan dengan penghujung bulan Pebruari atau permulaan bulan Maret pada tahun 571 M. Peristiwa tersebut ibarat prolog yang disajikan oleh Allah khusus buat Nabi dan rumah (Ka'bah)-Nya. Sebab, ketika kita mengamati kondisi Baitul Maqdis, kita mengetahui bahwa kiblat ini (dulu, sebelum Ka'bah-penj.) telah dikuasai oleh musuh-musuh Allah dari kalangan kaum musyrikin sebanyak dua kali, padahal ketika itu penduduknya beragama Islam, yakni sebagaimana yang terjadi dengan tindakan Bukhtanashshar terhadapnya pada tahun 587 SM dan oleh bangsa Romawi pada tahun 70 M. Sebaliknya Ka'bah tidak pernah dikuasai oleh orang-orang Nasrani (di mana mereka ketika itu disebut juga sebagai orang-orang Islam/Muslimun) padahal penduduk Mekkah adalah kaum musyrikin.

Peristiwa tragis tersebut juga terjadi dalam kondisi di mana beritanya dapat sampai ke seluruh penjuru dunia yang ketika itu sudah maju. Di antaranya, sampai ke Negeri Habasyah yang ketika itu memiliki hubungan yang erat dengan orang-orang Romawi. Di sisi yang lain, orang-orang Persia masih terus memantau perkembangan mereka dan menunggu apa yang akan terjadi terhadap orang-orang Romawi dan sekutu-sekutunya. Maka, ketika mendengar peristiwa tragis tersebut, orang-orang Persia ini segera berangkat menuju Yaman. Kedua negeri inilah (Persia dan Romawi) yang saat itu merupakan negara maju dan berperadaban (superpower). Peristiwa tersebut juga mengundang perhatian dunia dan memberikan isyarat kepada mereka akan kemuliaan Baitullah. Baitullah inilah yang dipilih-Nya untuk dijadikan sebagai tempat suci. Jadi, bila ada seseorang yang berasal dari tempat ini mengaku sebagai pengemban risalah kenabian, maka hal inilah tujuan utama dari terjadinya peristiwa tersebut dan penjelasan terhadap hikmah terselubung dibalik pertolongan Allah terhadap kaum musyrikin melawan kaum Mukminin dengan cara yang melampaui ukuran yang ada pada dunia yang bernuansa kausalitas ini.

'Abdul Muththalib mempunyai sepuluh orang putra, yaitu:
1. Al-Harits
2. Az-Zubair
3. Abu Thalib
4. 'Abdullah
5. Hamzah
6. Abu Lahab
7. Al-Ghaida
8. Al-Muqawwam
9. Shaffar
10. Al-'Abbas

Ada riwayat yang menyebutkan bahwa mereka berjumlah 11 orang, yaitu ditambah dengan seorang putra lagi yang bernama Qutsum. Riwayat lain menyebutkan bahwa mereka berjumlah 13 orang, yakni ditambah (dari nama-nama yang sudah ada pada dua versi di atas) dengan dua orang putra lagi yang bernama 'Abdul Ka'bah dan Hajla. Namun ada riwayat pula yang menyebutkan bahwa 'Abdul Ka'bah ini tak lain adalah al-Muqawwam di atas sedangkan Hajla adalah al-Ghaidag serta tidak ada di antara putra-putranya tersebut yang bernama Qutsum.

Adapun putri-putrinya berjumlah enam orang yaitu:
1. Ummul Hakim (al-Bardha"/si putih)
2. Barrah
3. 'Atikah
4. Shaffiyyah
5. Arwa
6. Umaimah.


Keterangan tambahan:

1. Umaimah binti Abdul Muthalib adalah ibu dari Abdullah bin Jahsy dan Zaenab binti Jahsy. Abdullah bin Jahsy syahid pada perang Uhud.


Baca juga Kaum Arab:
https://tadzkiyatunnufus.blogspot.com/2021/03/kaum-kaum-arab_10.html

Komentar